Woo menganggap negara ASEAN terutama Indonesia bisa menjadi mediator netral atau honest broker untuk memfasilitasi dialog damai Korut dan Korsel.
Sebab, menurut Woo, Indonesia memiliki sejarah hubungan yang baik dengan kedua Korea. Selain itu, Indonesia juga tidak memiliki kepentingan terkait Semenanjung Korea.
Meski begitu, Woo pesimistik jika peran Indonesia bahkan negara lain dapat signifikan membantu menyatukan kedua Seoul dan Pyongyang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain karena ambisi reunifikasi kian surut, Woo mengatakan Korut tak bisa dipengaruhi oleh pihak eksternal agar mengubah sikapnya, meski itu oleh China yang merupakan sekutu terdekat Pyongyang.
"Tidak ada negara yang bisa paksa Korut untuk mengubah sikap sejak Perang Dingin berakhir. Bahkan China sekali pun," ucap Woo.
"Negara ASEAN seperti Indonesia mungkin bisa mengambil peran dalam memfasilitasi dialog kedua Korea sebagai honest broker karena kalian memiliki sejarah hubungan dengan kedua Korea. Tapi saya tak yakin itu pun akan berhasil di masa depan," paparnya menambahkan.
Secara teknis, Korut dan Korsel masih berperang sejak 1950. Perseteruan kedua saudara ini berakhir 1953 hanya dengan kesepakatan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Sejak gencatan disepakati, relasi Korut dan Korsel naik turun. Korsel merasa terancam dengan ambisi pengembangan senjata nuklir dan rudal Korut sehingga meminta bekingan dari Amerika Serikat.
Sementara itu, Korut merasa Korsel kerap menerapkan kebijakan bermusuhan salah satunya dengan membentuk aliansi pertahanan dan menggelar latihan militer bersama AS.
Pada April 2018, Korut-Korsel melakukan terobosan dengan menggelar pertemuan antara kedua pemimpin untuk pertama kalinya sejak 11 tahun. Presiden Moon Jae-in bertemu dengan Pemimpin Korut, Kim Jong-un, di zona demiliterisasi di perbatasan kedua Korea.
Namun, sejak itu, relasi kedua Korea naik turun lagi, terutama setelah kesepakatan denuklirisasi antara AS dan Korut mandeg.
Pada September lalu, Korut mengajukan sejumlah syarat bagi AS dan Korsel sebelum Pyongyang mau berunding mengakhiri Perang Korea 1950-1953.
Syarat itu diajukan Korut setelah Presiden Moon mengulangi seruannya lagi kepada Korut untuk mengakhiri Perang Korea secara resmi melalui perjanjian damai.
(rds)