Dalam beberapa bulan terakhir, Korea Utara (Korut) sering disebut mengalami krisis. Berita terbaru, beberapa warga Korut harus menghadapi lonjakan harga minyak,
Pemimpin Korut Kim Jong-un sempat menyinggung krisis pangan yang terjadi di negara itu. Pada April 2021, Kim mengatakan negaranya mengalami kelaparan mirip dengan yang terjadi pada 1990-an.
Pemerintah Korut sempat dikabarkan menjual jatah beras tentara ke masyarakat pada Agustus 2021. Korut juga meminta warganya untuk mengonsumsi angsa hitam dan mengurangi makan akibat krisis ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, kebijakan nol-Covid yang diterapkan Korut menghambat kemampuan Pyongyang untuk mengimpor makanan dan suplai agrikultur lain yang diperlukan untuk mengatasi krisis. Akibat pandemi Covid-19, Korut memutuskan memperketat pembatasan domestik dan jalur perdagangan mereka, sebagaimana dilansir The Diplomat.
Imbasnya, perdagangan Korut dengan China, sekutu internasional satu-satunya negara itu, turun hampir 90 persen. Sejak pandemi dimulai pada 2020, ekspor barang dari Korut ke China anjlok 77,7 persen, dan impor merosot 80,9 persen.
Korut sempat berencana membuka jalur layanan kereta kargonya pada November tahun lalu. Namun rencana itu batal karena penyebaran infeksi Covid-19 yang meningkat.
Di sisi lain, masalah iklim juga ikut andil dalam krisis yang terjadi di Korut.
Menurut laporan FAO yang dirilis pada Juni 2021, Korea Utara diprediksi hanya menghasilkan 5,6 juta ton biji-bijian di tahun ini. Jumlah itu kurang 1,1 juta ton dari angka yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh warganya.
Di April dan Mei 2020, curah hujan yang turun membuat Korut harus menunda kegiatan penanaman mereka.
Meski curah hujan sempat meningkat di pertengahan Mei, Korut mengalami topan dan hujan. Kondisi itu menyebabkan beberapa wilayah terendam banjir. Akibatnya, produksi hasil panen di negara itu terpengaruh.
Kelembapan tanah dan banjir yang melanda ladang tanaman di Korut membuat hasil panen negara itu berkurang drastis. Tak hanya itu, cuaca berawan yang terjadi menyebabkan proses fotosintesis yang dilakukan tanaman untuk berkembang menjadi tak maksimal.
Akibat krisis ini, warga Korut juga harus merasakan berbagai dampak negatif. Mereka harus berhadapan dengan harga minyak yang mencapai Rp718 ribu per liter.
Sementara itu, para veteran militer Korut yang tadinya mau pulang ke kampung halaman harus bertani demi membantu pasokan pangan negara itu.
"Alasan otoritas menempatkan veteran di pedesaan dengan skala yang begitu besar ialah karena mereka menilai pekerja pedesaan yang menua merupakan penyebab penurunan produksi biji-bijian," tutur salah satu pejabat di Pyongan Utara kepada Radio Free Asia.
Meski demikian, banyak pengamat menilai penurunan produksi disebabkan oleh bencana alam, kekurangan pupuk dan mesin modern, pun juga isu lain yang berkaitan dengan penutupan perdagangan Korut-China akibat virus corona.
(pwn/sfr)