Presiden Joko Widodo melantik tiga Duta Besar di Istana Kepresidenan, Rabu (12/1). Salah satunya mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo, yang akan bertugas di Filipina.
Agus dilantik bersama Sunarko, Dubes RI untuk Republik Sudan, dan Fientje Maritje Suebu, perempuan pertama asal Papua yang ditunjuk sebagai dubes untuk Selandia Baru merangkap Samoa, Kerajaan Tonga, Kepulauan Cook, dan Niue.
Agus merupakan putra dari almarhum Mayor Jenderal Sutoyo, salah seorang dari enam jenderal yang terbunuh pada tragedi 30 September 1965.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria kelahiran 8 Juni 1947 kerap dijuluki tokoh intelektual militer karena gagasan-gagasannya.
Agus lulus dari akademi Angkatan Bersenjata RI pada 1970. Sebelum ditugaskan sebagai Kepala Staf Teritorial pada Panglima Komando TNI, ia menjabat sebagai Komando Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat.
Agus juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili Fraksi Militer dan Kepolisian Nasional sebelum akhirnya memasuki masa purnawira pada 2003.
Pada 15 April 2016, Agus ditunjuk menjadi Gubernur Lemhamnas.
Selama kiprahnya di dunia militer Indonesia, Agus telah memainkan peran yang penting dalam pembaruan militer. Pada 1998, dia berpendapat bahwa militer seharusnya keluar dari lingkaran politik.
Pada 2010, dia juga mengajukan pendapat bahwa Komando Distrik Militer (Kodim) dan Komando Rayon Militer (Koramil) lebih baik dihapuskan. Dia menilai Kodim dan Koramil tidak memiliki fungsi pertahanan di daerah.
Agus juga terkenal dengan berbagai pernyataan kontroversialnya. Berikut sejumlah kontroversi pernyataan Agus:
Belum lama ini, Agus sempat mengusulkan agar Polri diletakkan di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ia juga mengusulkan pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang bertugas mengkoordinasi menteri koordinator dan merumuskan kebijakan keamanan dalam negeri.
Pada Desember 2020 lalu, Agus menganggap aparat negara baik TNI atau Polri sah mengurus masalah organisasi kemasyarakatan termasuk Front Pembela Islam (FPI) yang kini berganti nama Front Persaudaraan Islam.
Pernyataan itu muncul usai Pangdam Jayakarta saat itu, dudung Abdurachman, memerintahkan jajarannya mencopot baliho bergambar imbas besar FPI Rizieq Shihab.
Agus juga pernah menyebut isu kemunculan Partai Komunis Indonesia (PKI) akan selalu ada jelang 30 September. Ia juga tak menampik, isu ini menjadi gorengan sejumlah pihak.
Menurutnya, akan selalu ada pihak yang mengembuskan literatur teranyar soal riwayat PKI berupa tulisan, memoar buku, atau gagasan menggelar pertemuan orang-orang yang senasib.