Senada dengan Rezasyah, pengamat dari Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI), Fahmi Salsabila, juga menilai sikap Rusia ini menunjukkan Negeri Beruang Merah tak mau berperang.
"Ya diplomatis, asal delapan tuntutan Rusia dipenuhi NATO dan Barat," kata Fahmi.
Meski begitu, Fahmi masih menganggap ancaman militer Rusia masih nyata bagi Ukraina. Sebab, hingga kini ia tak melihat adanya tanda-tanda deeskalasi antara Rusia dan Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar, 150 ribu pasukan Rusia masih berada di dekat perbatasan Ukraina.
"Bisa kapan saja perang terbuka terjadi, belum ada tanda-tanda deeskalasi," lanjutnya.
Jika invasi tetap dilakukan, Amerika Serikat dan sekutu mengancam akan mengembargo ekspor dan mematikan akses perbankan Rusia. Namun, bagi Fahmi, negara ini akan tetap kuat sebab mendapat dukungan dari Timur Tengah.
"Kalo saya memandang Rusia pede karena dia tidak sendiri, kepentingannya bisa aman karena ada negara Timur Tengah plus China, walaupun jika terjadi perang terbuka kemungkinan bisa saja lain," jelasnya.
Konflik antara Rusia dan Ukraina sempat panas dalam beberapa bulan terakhir usai Moskow mengerahkan 100 ribu pasukan dan peralatan militer ke wilayah perbatasan.
AS menuding Rusia akan menginvasi Ukraina. Namun, Moskow membantahnya. Beragam diplomasi pun sudah dilakukan, tapi tak ada hasil.
Tempo hari, beberapa media juga geger Rusia akan menyerang Ukraina hari ini, Rabu (16/2). Dugaan itu kemudian dijawab Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang mengaku siap negosiasi dan tak mau perang.
Dengan demikian serbuan Rusia ke Ukraina dianggap batal. Washington tak mau percaya begitu saja. Mereka mengaku belum memverifikasi soal penarikan pasukan Moskow di Kiev dan mengklaim invasi bisa terjadi di masa mendatang.