Jakarta, CNN Indonesia --
Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu, Amerika Serikat dan negara sekutunya kerap menjatuhkan beragam sanksi kepada Moskow. Namun, AS dan kubu Barat mendapatkan kecaman dari sejumlah pihak yang menilai mereka merespons masalah Rusia-Ukraina dengan menggunakan standar ganda.
AS disebut 'munafik' karena mendukung sanksi dan investigasi internasional terkait kejahatan perang Rusia, tetapi melindungi Israel yang kerap melakukan tindakan militer di Palestina.
Mengutip The Guardian, Amnesty Internasional sempat mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjatuhkan sanksi kepada Israel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Organisasi itu bersama dengan sejumlah kelompok pembela hak asasi manusia lain menuduh Israel melanggar hukum internasional karena melakukan tindakan apartheid (pemisahan ras) dan melakukan kejahatan kemanusiaan di Palestina.
Beberapa pejabat Palestina dan pelapor khusus PBB juga mendesak sanksi atas ulah Israel di Tepi Barat, jalur Gaza, pun pembunuhan skala besar warga Palestina.
Meski AS dan sekutunya menerapkan sanksi pada Rusia, mereka menolak memberlakukan kebijakan yang sama terhadap Israel.
Padahal, Israel dan Rusia disebut sama-sama melakukan kejahatan perang terhadap wilayah yang mereka serang. Namun, hanya Rusia yang mendapatkan 'hujan' sanksi ekonomi dari Barat, sementara Israel masih bebas menyerang Palestina.
Mantan Direktur Human Rights Watch divisi Timur Tengah, Sarah Leah Whitson, mengatakan ada persamaan jelas terkait pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Rusia dan Israel, termasuk melakukan kejahatan perang.
"Kami melihat tidak hanya pemerintah AS, tetapi perusahaan AS juga turut menjatuhkan sanksi dan memboikot segala hal yang berhubungan dengan pemerintah Rusia," kata Whitson.
"Kontras dengan penerapan sanksi ke Israel karena melanggar hukum internasional sampai pada poin negara Amerika menerapkan hukum untuk menghukum warga Amerika, kecuali mereka berjanji tak akan memboikot Israel. Terlihat jelas di situasi sebenarnya bahwa menolak memberikan sanksi ke Israel, ataupun kepatuhan dengan hukum internasional, sangat murni politik," lanjutnya.
Perbedaan invasi Rusia ke Ukraina dengan konflik Israel-Palestina, baca di halaman berikutnya...
Menurut pengamat Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, kasus Israel-Palestina dan Rusia-Ukraina berbeda. Perbedaan mereka terletak pada perlakuan negara yang memiliki kuasa lebih.
Menurut Rezasyah, apa yang dilakukan Israel ke Palestina merupakan bentuk 'penjajahan,' mengingat Palestina merupakan negara lemah yang tak memiliki kekuatan militer seperti Ukraina.
Sementara itu, yang dilakukan Rusia adalah melindungi diri dari Ukraina yang berpotensi menghancurkan Moskow bila bergabung ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Serangan Moskow ke Kyiv disebut dilakukan guna menghukum negara itu karena menolak kepemimpinan Kremlin.
"Yang terjadi di Ukraina-Rusia ini adalah negara yang lebih kecil (Ukraina) menantang negara yang lebih besar (Rusia), dan negara yang lebih besar (Rusia) merasa bahwa negara ini (Ukraina) akan bisa menghancurkan negara yang lebih besar lewat pemasangan instalasi peluru kendali, instalasi mata-mata, dan penempatan pasukan di perbatasan," jelas Rezasyah ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (15/3).
Penjajahan Israel Terhadap Palestina
Rezasyah mengakui bahwa Israel melakukan penjajahan ke Palestina, mengingat negara tersebut tak memiliki kemampuan berperang.
"Kalau Palestina gak punya kemampuan itu, Palestina tidak punya kemampuan perang, bahkan untuk mengurus dirinya sendiri setengah mati Palestina itu. Sampai saat ini, kalau Israel menjajah Palestina iya. Tapi kalau Rusia menjajah Ukraina itu belum kejadian. Yang terjadi adalah penyerangan.," tutur Rezasyah.
"Kalau Israel ke Palestina ya memang ingin menguasai sepenuhnya Palestina. Sedangkan Rusia masih membuka forum untuk Ukraina menjadi negara netral antara Rusia dengan negara-negara NATO," katanya lagi.
Konflik Israel-Palestina Berbau Sentimen Agama
Sementara itu, pengamat lain lain berpendapat konflik yang terjadi di Palestina merupakan konflik berbau sentimen agama.
"Konflik Palestina dan Israel ini sentimen teologisnya sangat kental, masing-masing mengklaim. Israel mengklaim bahwa ini adalah tanah yang dijanjikan. Kemudian Palestina mengklaim ini adalah tanah yang mereka paling berhak untuk tinggal di kawasan konflik sekarang itu," ujar Dosen Politik Timur Tengah UIN Jakarta, A. Ubaedillah, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (15/3).
"Masing-masing mengklaim landasan dari kitab suci," lanjutnya.
Palestina juga berkutat dengan masalah pengakuan negara berdaulat.
"Jadi (Palestina) belum diakui sebagai negara berdaulat yang memiliki otoritas wilayah ataupun pemerintahan sendiri. Walaupun memang beberapa negara telah mengakui, tetapi Amerika dan Uni Eropa kan belum secara resmi memberikan pengakuan ini," jelas Profesor Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (15/3).
"Nah ini yang kemudian (membuat) seakan-akan tindakan Israel menjadi bisa ditoleransi terhadap rakyat Palestina, berbeda dengan Ukraina yang mendapatkan pengakuan kemerdekaan."
Rusia Gerah Akan Keberadaan Barat
Ubaedillah menilai, konflik antara Rusia dan Ukraina lebih ke berhubungan dengan potensi keberadaan negara Barat di wilayah mereka.
"Rusia merasa tidak nyaman di halamannya ada orang yang kira-kira musuh besarnya, yaitu Barat. Serangan Rusia itu lebih kepada ketidaknyamanan Rusia dengan NATO sebenarnya," kata Ubaedillah.
Pendapat yang serupa juga diutarakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana.
"Rusia ingin menghilangkan ancaman yang berasal dari NATO karena Ukraina kan mau masuk NATO tadinya. Maka untuk menghilangkan ancaman itu, maka (Ukraina) diserang agar arah politik (negara itu) tidak ke Eropa Barat dan AS," tutur Hikmahanto saat diwawancara CNNIndonesia.com, Selasa (15/3).
"Tidak ada keinginan Rusia untuk menduduki Ukraina," jelasnya.