Rasa rindu semakin menyeruak lantaran tak ada toko, tempat makan atau warung yang menjual makanan khas Indonesia, seperti di Amerika, atau Jepang.
Di Amerika ada yang menjual makanan khas Indonesia, ada Warung Kopi (Warkop) atau yang biasa dikenal Warung Makan Indomie (Warmindo) dan di Jepang ada Warteg, tempat makan sejuta umat.
Dulu memang sempat ada penjual makanan khas Indonesia di Rusia, tapi sekarang tak lagi beroperasi entah karena apa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menyoal Ramadan, sebetulnya ada sedikit persamaan kebiasaan di Indonesia dan Rusia.
Seperti misalnya, sejumlah masjid di Rusia menyediakan makanan ringan dan berat untuk berbuka, sebagaimana kebiasaan di Indonesia.
Saat matahari tenggelam dan tiba saatnya buka puasa mereka menyajikan 'tajil'. Biasanya berupa air zam-zam, kurma atau teh. Terkadang, ada pula masjid yang memberi hidangan makanan khas suku Tatar, chak-chak.
Camilan ini merupakan makan ringan yang rasanya manis, terbuat dari adonan tepung dan telur yang dipotong-potong, lalu digoreng hingga kering. Selepas itu, diguyur sirup madu dan gula.
Usai makan dirasa cukup, lanjut salat Magrib berjamaah, dan setelahnya makan berat.
Sementara itu, perbedaan Ramadan di Indonesia dan Rusia yang paling signifikan adalah durasi puasa.
Di sini saya bisa puasa sampai 15 hingga 18 jam, sembari menyelesaikan pekerjaan yang begitu padat jelang libur lebaran dan cuti bersama ala kalender Indonesia. Saya kebut sana, kebut sini, berusaha menyelesaikan seluruh agenda di tengah jam puasa di Rusia yang panjang.
Waktu Subuh di Rusia sekitar pukul 02.39 dan saya baru berbuka puasa sekitar pukul 20.07 waktu Moskow. Jika dihitung, saya puasa selama 18 jam.
Perbedaan selanjutnya, selain soal durasi puasa yakni tradisi detik-detik jelang buka. Saya tak menjumpai orang berkeliling mencari takjil atau ngabuburit, atau jalanan mendadak ramai karena banyak penjual makanan hidangan puasa. Tak ada. Semua berjalan seperti biasanya, warga beraktivitas secara normal.
Di Rusia, dan mungkin sejumlah negara harga pangan dan kebutuhan pokok tengah melonjak. Di negara tertentu, seperti Indonesia penyebabnya beragam salah satunya harga naik setiap sepekan jelang lebaran.
Namun di negara yang saya tempati sekarang harga barang naik bukan gegara Lebaran tapi situasi geopolitik Rusia-Ukraina. Beberapa negara maju, mulai dari Amerika Serikat, Inggris, Jepang hingga Singapura ramai-ramai menjatuhkan sanksi ekonomi ke pemerintahan Vladimir Putin.
Persamaan lain Lebaran Indonesia dan Rusia adalah saat salat Ied. Sebelum pandemi menyerang, warga tumpah ruah di masjid, bahkan jalan-jalan di tutup sementara selama ibadah berlangsung. Umat Muslim di Rusia bisa dibilang banyak, namun Islam adalah agama minoritas di sini, meski menduduki posisi kedua dari segi populasi.
Dan lagi, penduduk saling bercengkerama dan memberi maaf satu sama lain di hari yang suci itu. Persis di Indonesia, bukan?
Yang berbeda, setelah salat tak ada saling kunjung ke rumah tetangga atau anggota keluarga lain. Pertemuan selesai di masjid dan pelatarannya saat itu juga.
Tentang tanah air, tiap memejam mata selalu tergambar bayang-bayang keramah-tamahan warga Indonesia, hal yang betul-betul saya rindukan.
(bac)