Jakarta, CNN Indonesia --
Kepergian jurnalis veteran Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, yang tewas tertembak tentara Israel menjadi sorotan internasional. Dia tewas tertembak saat meliput bentrokan antara pasukan keamanan Israel dengan warga Palestina di Kota Jenin, Tepi Barat.
Kecaman hingga tuntutan penyelidikan independen atas kematian perempuan 51 tahun itu pun bermunculan dari berbagai pihak seperti Palestina, Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Israel mengklaim pasukannya tidak bersalah dan menyebut Abu Akleh tewas tertembak warga Palestina yang membawa senjata saat bentrokan terjadi.
Abu Akleh merupakan satu di antara tokoh media keturunan Arab ternama. Ia dipuji luas karena keberanian dan profesionalismenya, terutama ketika meliput konflik dan peperangan.
Beberapa jam setelah kabar kematiannya menyebar, pemuda Palestina, terutama kaum perempuan menganggap Abu Akleh sebagai sosol inspiratif. Banyak di antara mereka mengaku ingin menekuni jurnalisme karena sosok Abu Akleh.
"Dia tidak pernah lelah," kata koresponden senior internasional Al Jazeera, Hoda Abdel-Hamid, kepada AFP.
"Dia selalu ada di sana setiap kali terjadi sesuatu. Dia ingin berada di sana, untuk menceritakan kejadian yang ada, terus-menerus," paparnya menambahkan.
Dalam sebuah wawancara sesaat sebelum kematiannya, Abu Akleh, yang juga warga negara Amerika Serikat, menggambarkan dirinya sebagai "produk Yerusalem".
Sebagian besar karir jurnalistiknya dihabiskan untuk meliput konflik Israel dan Palestina.
Perempuan kelahiran Yerusalem timur itu lahir dari keluarga Kristiani asli Palestina. Ibunda Abu Akleh lahir di Yerusalem barat dan sang ayah berasal dari Betlehem di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
[Gambas:Video CNN]
Shireen Abu Akleh lulus dari perguruan tinggi pada tahun penandatanganan perjanjian damai Oslo dan bergabung dengan radio Voice of Palestine yang saat itu baru terbentuk.
Pada 1997, Abu Akleh bergabung dengan Al Jazeera, di mana karir jurnalismenya terus meroket hingga menjadi tokoh ikon di media Arab.
Akibat popularitasnya yang tinggi di Palestina, warga berbondong-bondong menempatkan karangan bunga di sisi jalan yang dilalui ambulans pengangkut jenazah Abu Akleh menuju Nabus sebelum dimakamkan di Yerusalem.
Salah satu rekan dekat Abu Akleh, Muhammad Daraghmeh, mengatakan mendiang kerabatnya itu adalah "salah satu jurnalis terkuat di dunia Arab".
Ketenaran Abu Akleh tumbuh sejak liputannya tentang intifada Palestina kedua, atau pemberontakan warga Palestina, dari tahun 2000 hingga 2005.
Wartawan senior Al Jazeera Dima Khatib mentweet bahwa Abu Akleh adalah "salah satu koresponden perang wanita Arab pertama di akhir 1990-an.
Saat itu, kebanyakan jurnalis perempuan bekerja di studio televisi, tidak diterjunkan ke zona perang.
"Shireen adalah pelopor dalam generasi yang mematahkan stereotip peran gender dalam jurnalisme TV."
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Abu Akleh mengatakan dia sering merasa takut saat bertugas di zona perang, tetapi ia tetap menjalankan tugasnya dan memastikan untuk menghindari risiko yang tidak perlu.
"Saya tidak melemparkan diri saya pada kematian," katanya kepada sebuah outlet di kota Nablus, Tepi Barat, seperti dikutip AFP.
"Saya mencari tempat yang aman untuk berdiri dan bagaimana melindungi kru saya sebelum mengkhawatirkan rekaman liputan."
Tahun lalu, Abu Akleh menulis soal Kota Jenin dalam publikasi This Week in Palestine bahwa Jenin. Ia menganggap Jenin, kota tempat dia tewas tertembak, bukan lah satu cerita fana dalam kariernya atau bahkan dalam kehidupan pribadinya".
"Ini adalah kota yang dapat meningkatkan moral saya dan membantu saya terbang. Ini mewujudkan semangat Palestina yang kadang-kadang gemetar dan jatuh tetapi, di luar semua harapan, bangkit untuk mengejar mimpinya," tulis Abu Akleh dalam opininya tersebut.