Korea Utara mengerahkan pasukan militer untuk membantu mengatasi wabah Covid-19 yang terus meluas di negara terisolasi itu.
Kasus pertama Covid-19 di Korut muncul pada pekan lalu setelah tiga tahun negara pemerintahan Pemimpin Tertinggi Kim Jong-un mengklaim berhasil mencegah virus corona masuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Media corong pemerintah Korut, KCNA, melaporkan pengerahan pasukan militer dilakukan untuk membantu memasok obat-obatan di ibu kota Pyongyang.
"[Misi tim militer untuk] meredakan krisis kesehatan masyarakat [di Pyongyang]," kata laporan KCNA, Selasa (17/5).
Sejumlah anggota senior Partai Buruh Korea Utara pun mengunjungi toko farmasi dan apotek di seluruh kota untuk memeriksa pasokan dan permintaan obat-obatan. Langkah ini ditempuh usai pemimpin Korut, Kim Jong-un, mengatakan distribusi obat tak efektif.
"Mereka menyerukan agar aturan yang lebih ketat dibuat demi menjaga dan menangani kesehatan, dengan tetap menjaga prinsip mengutamakan permintaan dan kenyamanan masyarakat," tulis KCNA seperti dikutip Reuters.
Mayoritas obat yang didistribusikan di Korut merupakan obat penghilang rasa sakit dan penurun demam, seperti ibuprofen, amoksisilin, dan antibiotik lain. Obat itu disebut tak ampuh melawan virus Covid-19.
Selain mendistribusikan obat, pemerintah Korut juga menganjurkan warga rajin menjaga kebersihan dan kesehatan seperti sering berkumur dengan air garam.
Pihak berwenang Korut juga terus meningkatkan upaya tracing kasus Covid-19. Sekitar 11 ribu pejabat kesehatan, guru, dan mahasiswa kedokteran bergabung untuk menelusuri masyarakat yang punya gejala Covid-19 atau kontak erat dengan pasien positif virus corona.
Kim Jong-un juga memerintahkan pembatasan aktivitas hingga lockdown di setiap kota dan kabupaten. Namun, berbagai sektor ekonomi nasional masih mempertahankan produksi dan konstruksi dengan tetap berpegang pada langkah-langkah pencegahan Covid-19.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan Covid-19 akan menyebar secara luas di Korut. Hal ini diduga karena pemerintah menolak program vaksin dan bantuan komunitas internasional.
Per Selasa (16/5) malam, Badan pencegahan epidemi darurat Korut melaporkan sebanyak 269.519 orang memiliki gejala demam yang diduga terkait Covid-19. Sementara itu, 56 orang dilaporkan meninggal.
Korut belum melangsungkan program vaksinasi pada warganya dan hanya memiliki kemampuan pengujian Covid-19 yang terbatas.
Hal ini meningkatkan kekhawatiran betapa sulit menilai seberapa luas dan cepat wabah ini menyebar di Korut, termasuk memverifikasi jumlah kasus dan kematian yang dikonfirmasi.
"Jumlah tak bisa diandalkan, tetapi jumlah orang yang mengalami demam sangat mengkhawatirkan," kata seorang profesor penyakit menular di Fakultas Kedokteran Universitas Hallym, Lee Jae-gap.
Menurut Lee, jumlah kematian akan melonjak seiring berjalannya waktu. Namun Pyongyang bisa saja terbuai dengan angka yang rendah untuk menghindari krisis politik.
"Saya tak berpikir rezim Korea Utara mampu merilis jumlah korban tewas yang melonjak, yang akan merusak sentimen publik."