Pengamat Hubungan Internasional lain dari Universitas Islam Negeri Jakarta Ubaedillah mengatakan alasan Singapura menolak UAS karena pandangan sang penceramah tentu harus dihormati.
"Kalau urusan berkaitan dengan pandangan UAS yang tak sejalan ya kita hormati [keputusan Singapura]," jelas dia.
Tak lama usai polemik itu menjadi perbincangan publik, KBRI Singapura menghubungi Otoritas Imigrasi dan Pemeriksaan (ICA) negara itu. Namun, mereka tak memberikan rincian atau alasan UAS dideportasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa jam kemudian, KBRI Singapura mengirim nota diplomatik ke Kementerian Luar Negeri Singapura guna meminta penjelasan lebih lanjut.
Setelahnya, Kementerian Dalam Negeri Singapura mengeluarkan pernyataan resmi soal UAS yang dideportasi.
Dalam pernyataan itu, mereka mengatakan UAS dikenal menyebarkan ajaran ekstrimis dan segregasi yang tak bisa diterima di masyarakat multi-ras dan multi agama di Singapura.
"UAS pernah mengatakan bom bunuh diri adalah sah dalam konteks konflik Israel-Palestina, dan dianggap sebagai operasi syahid," jelas pernyataan tersebut.
Dia juga membuat komentar yang merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen. UAS mengatakan salib sebagai tempat tinggal jin kafir.
Selain itu, secara terbuka UAS juga menyebut non-Muslim sebagai kafir.
Masuknya pengunjung ke Singapura, lanjut pernyataan itu tidak otomatis atau menjadi hak pendatang. Setiap kasus dinilai berdasarkan kemampuan individu.
"Sementara Somad [UAS] berusaha masuk ke Singapura dengan pura-pura melakukan kunjungan sosial," ujar mereka.
Pemerintah Singapura memandang serius siapa pun yang menganjurkan kekerasan dan atau mendukung ajaran ekstrimis dan segregasi.
"UAS dan teman perjalanannya ditolak masuk ke Singapura," tegas mereka.
UAS bukan kali pertama ditolak negara lain. Pada 2017 lalu, Hong Kong mendeportasi penceramah kondang itu.
(isa/bac)