Kisah Sedih Suku Pigmi, 'Manusia Mini' Uganda yang Digusur Demi Gorila
Suku pigmi atau 'manusia mini' dari Uganda pernah berbagi teritori dengan kawanan Gorila di sejumlah kawasan hutan hujan negara tersebut.
Kelompok etnis yang dikenal dengan sebutan suku Batwa ini kemudian digusur pemerintah pada awal 1990-an demi keberlangsungan hidup kawanan Gorila di hutan Bwindi, Echuya, dan Mgahinga, Uganda.
Pemerintah mengambil kebijakan itu karena menilai bahwa suku Batwa dan kawanan Gorila kerap berkonflik di kawasan tersebut.
Suku Batwa masuk kategori kelompok etnis Pigmi karena rata-rata tinggi mereka yang lebih rendah dari manusia pada umumnya. Rata-rata tinggi para pria suku tersebut di bawah 150 Sentimeter.
Sabiti Mufupi, suku asli Batwa berusia 50 berbagi cerita ketika ia terpaksa digusur demi keberlangsungan hidup primata besar endemik Afrika itu.
"Pada 1991, saya masih mudah ketika pemerintah menggusur kami dari hutan hujan Bwindi sehingga para gorila bisa tinggal secara damai. Suku Batwa lainnya yang juga sempat mendiami Echuya dan Mgahinga juga terpaksa menyingkir," tutur Mufupi, seperti dilansir dari Anadolu.
Mufupi mengatakan, suku mereka terbiasa mencari penghidupan di hutan-hutan tersebut sebelum terusir dari sana.
"Leluhur kami merupakan bagian dari ekosistem hutan hujan kawasan Bwindi, Echuya, dan Mgahinga," tutur anggota komunitas Batwa di kawasan Mbarara, Deborah Namanya.
"Kami makan buah-buahan dari tanaman dan umbi-umbian. Namun, kini semua dinikmati gorila sedangkan kami kelaparan," ia melanjutkan.
Moses Ninzikumba, suku pigmi 49 tahun juga berbagi kisah ketika ia bersama keluarga dan satu sukunya 'terusir' dari kampung halaman mereka saat masih 9 tahun. Ninzikumba kini curhat betapa sulit hidup di pemukiman kumuh sebagai pemusik jalanan di Kota Kisoro.
"Sekarang kami kini hidup miskin. Kami terusir dari tanah kami. Suku kami bahkan kini terancam punah karena suku Batwa kini sudah tercerai-berai ke sejumlah tempat. Banyak pula yang meninggal karena tak sanggup jalani kehidupan di luar hutan," tutur Ninzikumba.
Ia juga menyampaikan agar pemerintah memberikan mereka perumahan yang layak huni sebagai kompensasi atas kehilangan wilayah hunian mereka di hutan.
Bettu Keturesi, putri dari Ninzikumba, mengatakan bahwa orang tuanya beserta suku Batwa lain terbiasa dengan pengobatan herbal dan makan buah-buahan agar hidup lebih lama.
"Sekarang mereka kesusahan mencari makan. Dahulu saat masih hidup di hutan hujan, mereka biasa makan buah dan daging hasil buruan," ucap Keturesi.
Keturesi yang menikah dan memiliki dua anak mengatakan ia dan keluarganya kini hidup tanpa memiliki lahan garapan. Ia dan suku Batwa lainnya hanya bisa menyambung hidup sebagai petani penggarap lahan orang.
(bac)