Ukraina membongkar kuburan massal diduga berisi korban pasukan Rusia di dekat Bucha. Beberapa mayat ditemukan dengan kondisi tangan terikat ke belakang.
Associated Press melaporkan bahwa pihak berwenang Ukraina menggali kembali kuburan massal tersebut untuk menyelidiki penyebab pasti kematian para warga tersebut.
Kepala polisi regional Kyiv, Andriy Nebytov, mengatakan bahwa petugas mengevakuasi tujuh jenazah warga sipil. Dua mayat ditemukan dengan tangan terikat dan luka tembak di bagian lutut serta kepala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tembakan di lutut membuat kami tahu bahwa mereka disiksa. Tangan diikat ke belakang dengan selotip menandakan orang disandera dalam waktu yang lama dan [Rusia] mencoba mendapatkan informasi," ujar Nebytov pada Senin (13/6).
Sementara itu, kepala kepolisian nasional Ukraina, Igor Klimenko, mengatakan bahwa mereka sudah menggelar penyelidikan terhadap kuburan massal itu, beserta kematian lebih dari 12 ribu warga selama invasi.
Klimenko menjelaskan, pembunuhan massal juga dilakukan oleh penembak jitu yang melepas pelurunya dari tank dan kendaraan lepas baja. Mayat pun ditemukan tergeletak di jalan-jalan dan rumah-rumah, serta kuburan massal.
Sejauh ini, belum ada informasi lengkap soal jumlah mayat di kuburan massal atau di tempat lain yang tidak diketahui.
Lihat Juga :![]() SURAT DARI RANTAU Sungai Aare dan Risiko Berenang di Perairan yang Masih Asing |
Penemuan mayat dalam jumlah banyak ini bukan kali pertama sejak invasi Rusia ke Ukraina berlangsung. Akhir Maret lalu, Ukraina melaporkan temuan 1.316 mayat di sejumlah kuburan massal di hutan dan tempat lain.
Di bulan yang sama, pasukan Rusia menjadi sorotan usai pihak Ukraina melaporkan menemukan ratusan mayat di Bucha.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai menyerukan agar penyelidikan independen. Mereka juga menyatakan, temuan ratusan mayat di Bucha menimbulkan pertanyaan terkait kejahatan perang.
"Apa yang kami ketahui sekarang jelas menimbulkan pertanyaan serius dan mengganggu soal kemungkinan kejahatan perang dan pelanggaran berat atas hukum internasional," demikian pernyataan PBB awal April lalu.
(has/isa/has/bac)