Presiden Indonesia, Joko Widodo, melawat ke Ukraina pada Rabu (28/6) kemudian bertolak ke Rusia sehari setelahnya. Mengapa dia memilih mengunjungi Kyiv terlebih dahulu ketimbang Moskow?
Peneliti dari Departemen Hubungan Internasional di Pusat Studi Strategis Internasional, Andrew Mantong, menilai keputusan Jokowi mengunjungi Kyiv keberpihakan kepada kedaulatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pikir Indonesia agak realistis kalau kita lihat runutan agendanya ya. Pertama kita pergi dulu ke G7, kemudian dari G7 kita ke Ukraina," ujar Andrew dalam diskusi bertajuk Menilai Lawatan Presiden Joko Widodo ke Eropa, di Jakarta Pusat pada Jumat (1/7).
Di Ukraina Jokowi bertemu Presiden Volodymyr Zelensky. Dalam pertemuan itu orang nomor satu di Indonesia membahas soal prinsip kedaulatan. Menurut Andrew, dalam struktur konflik di Eropa Timur, Ukraina dianggap pihak yang lebih lemah.
"Saya pikir secara implisit itu menunjukkan bahwa keberpihakan kita [Indonesia] kepada kedaulatan. Tidak boleh ada negara yang berdaulat diserang oleh negara yang lebih kuat apapun alasannya," jelas Andrew.
Usai bertemu Zelensky, Jokowi mengunjungi Rusia untuk bertemu Presiden Vladimir Putin.
Lihat Juga : |
Saat bertemu Putin, Jokowi meminta jaminan pasokan pangan dan pupuk global tak terganggu akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Menurut Jokowi, gangguan pasokan pangan dan pupuk berdampak bagi ratusan juta masyarakat di dunia, terutama di negara berkembang.
Selain itu, Jokowi juga menekankan soal dialog terbuka antara dua negara dan perang yang harus segera diakhiri.
Sementara itu, Putin menjelaskan soal relasi yang baik, yang sudah terjalin lama dengan Indonesia, kerja sama perdagangan, ekonomi, teknik hingga infrastruktur.
Andrew menilai dari pernyataan tersebut ada logika yang tercermin terkait bagaimana Indonesia berperan untuk kasus ini.
"Buat kita yang penting adalah ekonomi itu dipisahkan. Tantangan Indonesia sekarang adalah memastikan kepada komunitas internasional bahwa kita bisa memisahkan antara urusan ekonomi dan urusan geopolitik," jelasnya.
Peneliti itu kemudian berujar, "Perang, konflik, sila berjalan. Tapi ekonomi juga punya kegentingannya sendiri yang segera harus diselesaikan."
Menurut dia, jika pasokan pangan terganggu akan berimbas pada krisis pangan. Krisis ini bisa menyebabkan kekacauan di masyarakat.
"Kalau pangan tak teratasi demonstrasi bisa berkembang, oposisi bisa berkembang. Apakah rezim tahan tekanan terhadap oposisi domestik," tegas Andrew.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan lawatan Jokowi ke Ukraina dan Rusia untuk membawa misi damai.
Namun, sejumlah pengamat menilai terdapat hal lain yang Jokowi bawa dalam kunjungan itu. Mulai dari menyuarakan dampak perang terhadap negara berkembang, menjamin pasokan pangan dan pupuk global kembali berjalan, dan menyukseskan forum G20, yang diketuai Indonesia.
(isa/bac)