Jakarta, CNN Indonesia --
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat Nancy Pelosi tiba di Taiwan pada Selasa (2/8) malam waktu setempat, meski kunjungan itu menuai amarah China.
"Kami memuji Taiwan sebagai salah satu komunitas yang paling bebas di dunia," ujar Pelosi kala bertemu dengan parlemen Taiwan pada Rabu (3/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelosi juga menyampaikan pemerintah AS ingin memperkuat industri cip Washington untuk bersaing dengan China. Dalam misi tersebut, pihak AS "menawarkan kesempatan besar untuk kerja sama ekonomi AS-Taiwan."
Sementara itu, China mengecam lawatan Pelosi di Taiwan, menilainya sebagai ancaman perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Beijing juga merespons kunjungan itu dengan mengadakan latihan militer, pun mengerahkan pesawat tempur di garis pemisah perairan di Selat Taiwan.
[Gambas:Video CNN]
Militer China menyampaikan pihaknya berada dalam siaga tinggi, dan bakal meluncurkan 'operasi militer yang ditargetkan' untuk merespons kunjungan Pelosi.
Lantas, apakah 'mimpi buruk' China berperang dengan Taiwan akan terjadi?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai perang terbuka antara Taiwan dengan China tidak akan terjadi.
"Perang terbuka China-Taiwan tidak akan terjadi. Karena besarnya resiko kehancuran sektor industri dan ristek [riset teknologi] di kedua belah pihak, serta dampak perang itu sendiri atas kemunduran ekonomi dunia untuk jangka panjang," ujar Rezasyah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (2/8).
"Sebuah perang terbuka antara China-Taiwan akan secara langsung dan tidak langsung melibatkan seluruh jaringan sekutu AS di seluruh dunia," lanjutnya.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
Tiga Strategi China saat Pelosi ke Taiwan
Selain itu, Rezasyah menilai China sedang melangsungkan tiga strategi kala Pelosi berkunjung ke Taiwan.
Pertama, China mengancam bakal menyerang Taiwan untuk memperlemah ketahanan nasional Taipei. Kedua, China tengah menguji nyali pemerintah AS dan mencoba mempermalukan Pelosi.
Ketiga, China berupaya memberikan pesan kepada seluruh negara di Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN), bahwa dukungan sekecil apapun ke Taiwan bakal dijawab keras oleh China.
Selain Rezasyah, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, juga menilai China dan Taiwan tak mungkin bakal melakukan perang terbuka.
"Tidak mungkin, karena ada sekutu lain [Taiwan] yang bersama AS. Kalau sampai China berani [menyerang Taiwan], bakal dikecam seluruh dunia," ujar Suzie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (2/8).
Tak hanya sekutu Taiwan yang kuat, China dinilai tak akan bisa berdagang jika ia berperang dengan Taiwan.
"Kalau China ingin terus berdagang, China tidak akan melanjutkan ancaman hingga perang fisik. Dihujat seluruh dunia itu pasti," kata Suzie lagi.
Kekurangan di Militer China
Pendapat yang sama juga diutarakan oleh direktur program Asia di German Marshall Fund, Bonnie Glaser. Ia menilai invasi China di Taiwan tidak mungkin terjadi.
"Saya pikir militer China kekurangan rasa percaya diri bahwa mereka bisa merebut dan mengendalikan Taiwan. Militer China sendiri sempat membicarakan sejumlah kekurangan dari kemampuan mereka," ujar Glaser, dikutip dari CNN.
"Dan jelas sekali, perang di Ukraina memperlihatkan sejumlah tantangan yang dapat dihadapi China [jika menginvasi Taiwan], sangat sulit untuk memulai perang dari jarak 160 km di atas perairan, ketimbang di perbatasan darat, seperti antara Rusia dan Ukraina," katanya lagi.
Selain itu, perlawanan kuat Ukraina terhadap Rusia dapat memberikan motivasi bagi warga Taiwan untuk membela tanah mereka.
"Melihat bagaimana Ukraina menunjukkan moralitas tinggi dan keinginan untuk membela kebebasan mereka, saya pikir itu mungkin mengubah perhitungan tak hanya pemimpin militer di China, tetapi [Presiden] Xi Jinping secara personal," sambung Glaser.
Tak hanya itu, seorang profesor di Universitas St. Andrews, Phillips O'Brien, menilai perang antara China dan Taiwan dapat menimbulkan kerugian besar bagi kedua pihak.
"Apa yang diajarkan dari perang di Ukraina adalah perang hampir selalu merupakan pilihan yang terburu-buru. Jangan meremehkan lawan Anda, dan jangan berasumsi seluruh sistem Anda bakal bekerja dengan baik [kala perang]," tutur O'Brien.
China sendiri mengklaim Taiwan sebagai bagian dari kedaulatan mereka. Namun, Taiwan yang menganut nilai demokrasi, tidak menginginkan hal itu.
China berkali-kali menegaskan bakal melakukan berbagai cara untuk 'menyatukan' Taiwan sebagai negara mereka, termasuk menggunakan cara politik dan militer.
Meski begitu, AS menegaskan negaranya bakal membela kebebasan Taiwan, dan kerap memberikan dukungan militer dan politik ke pulau itu.