Nelangsa Pemuda di China: Peluang Kerja Tipis hingga Pemerintah Abai

CNN Indonesia
Minggu, 28 Agu 2022 13:14 WIB
Ilustrasi, Pemuda di China rata-rata mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Foto: AFP/HECTOR RETAMAL
Jakarta, CNN Indonesia --

Perlambatan ekonomi China membuat jutaan anak muda berlomba-lomba mendapat pekerjaan yang kian menipis dan menghadapi ketidakpastian masa depan. Di tengah kondisi yang tak menentu itu, pemerintah malah tampak abai kepada mereka.

Salah satu pemuda yang masih berusaha mencari kerja yakni Zhao Yuting (22). Ia mengatakan perusahaan ogah menerima dirinya karena pertumbuhan ekonomi yang tak signifikan.

Selain itu, ia mesti bersaing dengan para pekerja yang berpengalaman.

Sejak lulus Juli lalu, Zhao telah mengirimkan CV ke puluhan perusahaan. Ia beberapa kali menerima panggilan wawancara, namun langkahnya terhenti sampai di situ.

Berulang kali wawancara, berulang kali pula Zhao menelan penolakan. Perusahaan mengklaim enggan menerima lantaran dia tak punya pengalaman dibanding kandidat lain.

Berbekal gelar dan kemampuan dalam bahasa Inggris, Zhao mengira bisa mencari nafkah sebagai tutor hingga menemukan pekerjaan penuh waktu.

Namun, belum lama ini China bersikap tegas terhadap les privat. Pemerintah menutup ratusan ribu les privat sebagai upaya memangkas bebas pekerjaan rumah dan kegiatan pendidikan di luar jam keluarga dan sekolah.

Sebelumnya, banyak warga China yang menyewa guru privat untuk anak-anaknya karena tekanan pendidikan yang tinggi.

"Saya sudah mencari pekerjaan selama dua atau tiga bulan tetapi prospek untuk bisa bekerja tipis," ujar Zhao.

Ia lalu berkata, "Semakin lama, semakin besar tekanannya."

Setelah lulus, ia tak bisa melanjutkan pendidikan dan tak punya koneksi agar bisa bekerja di pemerintahan. Zhao, sebagaimana warga kelas menengah bawah China, tak punya banyak pilihan, bahkan nyaris nihil.

"Saya merasa tak bisa melihat masa depan. Saya belum membuat kemajuan apapun. Ini menyedihkan," tutur dia.

Pekerja kerah biru juga berjuang mencari pekerjaan karena pertumbuhan di sektor manufaktur dan konstruksi mendingin. Di sebuah pameran pekerjaan di pusat teknologi Shenzhen, antrean orang mencari pekerjaan mengular.

Mereka, baik yang berusia muda atau tua, sam-sama cemas menunggu kesempatan mengobrol dengan perekrut.

Namun, perekrut di pameran tersebut mengatakan mereka hanya memilih kandidat dari lulusan universitas ternama, karena hanya beberapa posisi yang tersedia. "Tujuan saya adalah bekerja di Shenzhen, di Lembah Silikon China," kata Luo Wen, lulusan ilmu komputer kepada AFP.

"Tetapi setelah lebih dari empat bulan mencari, saya siap bekerja bahkan di kota yang lebih kecil, dengan bayaran lebih rendah," ucap dia lagi.

Menurut data perusahaan rekrutmen online Zhaopin menyebutkan lulusan yang berhasil mendapat pekerjaan tahun ini memperoleh gaji yang rata-rata 12 persen lebih rendah dari 2021.

Sementara itu, beberapa pencari kerja menurunkan ambisi mereka, yang lain menunggu waktu mereka untuk melanjutkan studi.

Para ahli memperingatkan kondisi tersebut bisa menyebabkan "inflasi nilai". Di mana perusahaan menuntut kualifikasi yang lebih tinggi untuk pekerjaan yang tak melulu membutuhkan kualifikasi sementereng itu.

Pengamat juga menyalahkan kebijakan pemerintah China yang melihat lonjakan mahasiswa selama dekade terakhir tetapi gagal mengakomodir mereka.

Pertumbuhan ekonomi yang lamban juga disebabkan penguncian wilayah imbas Covid-19.

"Pandemi dan penguncian hanya memperburuk masalah," kata pengamat ekonomi politik China di Universitas Johns Hopkins, Ho Fung Hung.

Selain itu, jumlah usia kerja selama kelulusan pada Juli dan Agustus yang membengkak, tak sebanding dengan jumlah prospek kerja. Ini tentu membuat masalah ketenagakerjaan di China makin kronis.

Data pemerintah China menunjukkan satu dari lima anak muda di kota-kota negara itu kehilangan pekerjaan pada Juli. Jumlah ini tertinggi sejak Januari 2018 dan naik tiga kali lipat dari angka rata-rata nasional.

Hampir 11 juta lulusan memasuki pasar kerja China pada Agustus ini. Namun, pertumbuhan ekonomi bahkan tak menyentuh angka satu persen, hanya bertengger di 0,4 persen pada kuartal kedua. Angka itu terlemah dalam dua tahun.

"Kenyataannya lebih serius daripada yang ditunjukkan data. Jika masalah terus berlanjut tanpa perbaikan, akan dengan mudah menyebarkan gangguan sosial," kata Hung.

Ekonom dari TS Lombard ragu dengan data yang dirilis pemerintah. Menurut dia, data resmi itu tak mencakup angka pengangguran di kalangan pemuda pedesaan. Angka pengangguran sebenarnya bisa dua kali lipat lebih tinggi dari jumlah resmi.

Menanggapi kondisi itu, Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan krisis ketenagakerjaan China merusakan masalah yang "kompleks dan serius." Ia lantas meminta perusahaan milik negara untuk meningkatkan stabilitas ekonomi.

Pemerintah juga telah berjanji menopang pekerjaan dengan menawarkan keringanan pajak bagi usaha kecil dan meminjamkan modal lebih banyak.

(isa/lth)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK