Arab Saudi tidak memiliki aturan baku atau hukum tertulis yang mengatur pemilihan raja Saudi di masa depan.
Hal itu diungkap Elliott House, seorang jurnalis pemenang hadiah Pulitzer yang telah bepergian ke Kerajaan Saudi selama 30 tahun dan bertemu banyak bangsawan.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut House, penentuan calon penerus dilakukan dalam pertemuan rahasia antara raja dan sebagian kecil pendukung pangeran yang dianggap potensial.
Sejak berdirinya kerajaan tersebut, penunjukan calon raja menurut House tak lain karena amat ditentukan oleh tradisi dan kekuatan aliansi di antara pangeran dalam Keluarga Kerajaan.
Tak seperti kerajaan pada umumnya di Eropa, para calon Raja Saudi merupakan saudara kandung laki-laki dari raja tersebut yang bergantian naik takhta, bukan secara keturunan dari ayah diwariskan kepada anaknya.
Di Kerajaan Arab Saudi, sang raja yang mangkat biasanya digantikan oleh adiknya, begitu seterusnya seperti dikutip dari Gulfnews.
"Tidak ada yang sepenuhnya yakin bagaimana, dan [apa] kualifikasi yang dapat diketahui bahwa dia, pada dasarnya, berdasarkan usia, menjadi yang paling kompeten untuk memerintah," ujar House, seperti dikutip VOA, Kamis (10/11).
Meski begitu, demi mencegah pergantian takhta yang berpotensi perpecahan, Raja Abdullah selaku raja keenam Saudi membentuk Dewan Kesetiaan pada 2006.
Dewan Kesetiaan bertanggung jawab untuk menentukan suksesor kerajaan di masa depan. Apabila ada raja yang meninggal, dewan mesti menunjuk raja baru.
Dewan juga memiliki hak untuk mencopot raja jika sang penguasa sakit.
Sebelum ditetapkan oleh dewan, raja pendahulu memiliki waktu 10 hari untuk memberitahu dewan siapa yang diinginkan menjadi putra mahkota. Penunjukan putra mahkota itu pun harus dilakukan dalam kurun 30 hari sejak aksesi raja baru.
Raja juga diberikan wewenang untuk mengusulkan paling banyak tiga calon penerus. Nantinya, dewan akan membentuk dewan penguasa sementara yang akan mengambil alih urusan negara selama maksimal sepekan jika raja maupun putra mahkota yang ditunjuk dinilai tidak layak memerintah negara.
Namun yang jadi masalah, keberadaan Dewan Kesetiaan kerap kali diabaikan. Seperti misalnya saat penunjukkan Pangeran Nayef sebagai putra mahkota oleh Raja Abdullah usai Pangeran Sultan selaku putra mahkota pertama jatuh sakit.
Kala itu, Pangeran Talal bin Abdul Aziz blak-blakan mempertanyakan penunjukkan Pangeran Nayef yang tak melalui dewan.
Sejumlah orang pun berpendapat penunjukkan langsung itu dilakukan karena kesehatan Pangeran Sultan yang menurun sehingga memaksa Raja Abdullah segera mencari putra mahkota pengganti.
Tak hanya itu, keberadaan dewan juga tak dihiraukan kala Salman bin Abdul Aziz ditunjuk sebagai putra mahkota. Menurut Pangeran Talal, dewan tidak diajak berkonsultasi mengenai penunjukkan Salman yang terlalu tua untuk jadi putra mahkota.
"Sudah menjadi sifat Kerajaan Saudi bahwa siapapun yang menjadi raja dapat melakukan apa pun yang dia inginkan," kata Simon Henderson, seorang Baker Fellow dan Direktur Program Teluk dan Energi di Institut Washington untuk Kebijakan Timur.
(blq/bac)