Hindari Sensor, Warga China Kritik Pemerintah Pakai Bahasa Kanton
Warga China punya cara berbeda dalam mengkritik pemerintah. Lewat media sosial, mereka menggunakan bahasa Kanton untuk menyampaikan semua sumpah serapah dan unek-uneknya pada pemerintah agar tak kena sensor.
Di banyak negara, mengkritisi pemerintah secara daring adalah hal yang lumrah. Tapi tidak demikian halnya dengan di China.
Biasanya, kritik keras terhadap kebijakan pemerintah akan segera dihapus oleh pasukan sensor pemerintah.
Maka dari itu, masyarakat mulai mengakali dengan menggunakan bahasa Kanton, yang berasal dari Provinsi Guangdong. Bahasa itu dituturkan oleh puluhan juta orang di seluruh kawasan selatan Tiongkok.
Saat ini, warga China tengah beramai-ramai mengeluarkan kritiknya untuk kebijakan Covid-19 yang dibuat pemerintah.
Rasa tidak puas warga China itu muncul akibat penguncian yang kembali dilakukan pemerintah akibat Covid-19. Manufaktur Guangzhou kini menjadi pusat wabah Covid-19 di Negeri Tirai Bambu itu.
Penguncian dinilai akan mempersulit ekonomi masyarakat. Sementara dalam waktu yang sama, bantuan pemerintah juga dinilai belum maksimal.
Perlu diketahui, bahasa resmi China dan yang disukai oleh pemerintah adalah Mandarin.
Mengutip CNN, penggunaan bahasa kanton dinilai membuka kesempatan warga dalam menyampaikan protes, ketidakpuasan, mapun hal lain terkait pemimpin negeri.
Pada September 2022, organisasi pemantau media independen yang berbasis di Amerika Serikat-China, Digital Times mencatat banyak unggahan bernada negatif ke pemerintah dengan bahasa Kanton yang lolos dari sensor.
"Mungkin karena sistem sensor Weibo kesulitan mengenali ejaan karakter Kanton," ujar organisasi tersebut.
Hingga saat ini, banyak unggahan 'pedas' dengan ejaan Kanton yang masih bertahan. Namun, jika konten yang sama ditulis dalam bahasa Mandarin, kemungkinan besar akan diblokir atau dihapus.
Tak cuma itu, di Hong Kong, ejaan bahasa Kanton juga kerap digunakan oleh para demonstran anti-pemerintahan sebagai slogan protes.
Asisten profesor ilmu politik di Universite TELUQ yang telah mempelajari politik bahasa Hong Kong Jean-Francois Dupre mengatakan bahwa rendahnya toleransi pemerintah China terhadap kritik publik membuat masyarakat 'berinovasi' dalam menyampaikan pendapatnya.
"Fenomena ini membuktikan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap rezim dan meningkatkan ketakutan pemerintah, serta keinginan warga untuk terus melawan meski ada risiko dan rintangan," ujar Dupre.