Secara normal, pemilihan PM biasanya dilakukan oleh parlemen usai kabinet baru terbentuk. Jadi, raja tak selalu memilih kepala pemerintahan baru.
Namun, dalam pemilu kali ini, tak ada suara mayoritas alias mentok sehingga raja harus memutuskan PM baru.
Malaysia menerapkan sistem monarki konstitusional, di mana raja dipilih secara bergiliran dari keluarga kerajaan di sembilan negara bagian. Ia duduk di kursi raja untuk masa jabatan lima tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, konstitusi di negara itu memberi raja kekuasaan untuk menunjuk perdana menteri yang diyakini bisa memimpin mayoritas di parlemen.
Biasanya, raja memilih perdana menteri saat krisis pasca pemilihan.
Beberapa tahun terakhir, Raja Malaysia terlihat menggunakan kekuasaannya memilih PM baru, gegara politik dalam negeri yang tak stabil.
Dia semakin tampak memainkan peran yang signifikan sejak 2020. Ketika itu, popularitas aliansi Barisan Nasional, dan partai utamanya, Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), menurun.
BN memimpin Malaysia sejak negara itu merdeka, dari 1957 hingga 2018. Di tahun tersebut, mereka kalah karena muncul skandal korupsi 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Kasus 1MDB menjerat eks PM Najib Razak sekaligus wakil presiden UMNO.
Raja juga pernah menunjuk PM baru pada Februari 2020 lalu. Ketika itu, eks Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengundurkan diri karena konflik di dalam koalisi.
Raja Abdullah lalu rapat dengan semua anggota parlemen usai Mahathir mundur.
Pertemuan itu bertujuan menentukan siapa yang memiliki mayoritas membentuk pemerintahan baru. Akhirnya, raja memilih mantan sekutu Mahathir, Muhyiddin Yassin.
Pada 2021 lalu, Malaysia kembali gonjang-ganjing. Salah satu faktornya karena penerapan lockdown ketat imbas Covid-19.
Muhyiddin pun mengundurkan diri. Raja lalu bergegas meminta anggota parlemen menyerahkan surat yang berisi dukungan untuk PM baru.
Raja kemudian memutuskan dan menunjuk perdana menteri ke-9 Malaysia, Ismail Sabri Yaakob, yang berkuasa hingga pemilihan pekan lalu.
(isa/rds)