Kenapa Kebijakan Nol Covid Jadi Bumerang Bagi Xi Jinping?

CNN Indonesia
Kamis, 29 Des 2022 11:09 WIB
Pasien Covid-19 terbaring darurat di lobi rumah sakit Covid-19 di Chongqing, China, 23 December 2022. (AFP/NOEL CELIS)
Jakarta, CNN Indonesia --

China selama ini dikenal punya aturan ketat untuk menumpas penyebaran virus corona atau Covid-19 di negaranya.

Kebijakan nol-Covid mereka, yang belakangan dicabut, digadang-gadang menjadi tameng terbaik negara yang melaporkan pertama kasus Covid yang kemudian menjadi pandemi global pada 2020 silam.

Setelah pembebasan dilakukan dan sejumlah aturan diterapkan, lonjakan kasus Covid dinilai sejumlah ahli menjadi bumerang bagi China.

Beberapa waktu terakhir, kasus Covid-19 dilaporkan meledak di sejumlah wilayah di China. Obat flu dan demam yang sebelumnya dilarang dibeli jadi ludes sehingga membuat stok jadi kosong.

Antrean mengular di klinik kesehatan dan unit gawat darurat. Jenazah juga tak ketinggalan 'antre' untuk dikremasi.

Kekacauan itu lalu ditambah dengan pemerintah yang tak mau lagi melaporkan perkembangan harian angka kasus infeksi Covid-19 di sana.

"Saya pikir China mengira kebijakannya berhasil dan transisi bertahap ke fase endemi dapat dilakukan, tapi jelas tidak," kata Kenji Shibuya, mantan penasihat senior Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) seperti dikutip Reuters.

Sejumlah ahli menilai pembukaan kembali kebijakan nol-Covid hanya membuat kacau dalam negeri China. Sebab, yang perlu diselesaikan Xi bukan melonggarkan pembatasan terkait pandemi yang ada selama ini, namun menggenjot vaksinasi kepada para kelompok rentan.

Selama ini China memang terlampau santai untuk memvaksinasi lansia. Tingkat vaksinasi Beijing terhadap orang dewasa hanya mencapai 57,9 persen. Sementara lansia (usia 80 ke atas) baru mencapai 42,3 persen.

"Tidak ada waktu transisi bagi sistem medis untuk mempersiapkan ini," kata profesor epidemiologi di University of California, Los Angeles, Zuogfeng Zhang.

"China bisa lebih baik jika mereka tak banyak melakukan tes Covid-19 dan lockdown."

China juga selama ini menolak keras vaksin mRNA buatan Barat. Padahal para ahli menilai vaksin itu lebih efektif ketimbang vaksin buatan China.

Gagalnya upaya pemerintah terkait vaksinasi pun dinilai bakal membahayakan sistem kesehatan China di masa mendatang.

"Seperti yang telah kita lihat di Hong Kong, orang tua yang tidak divaksinasi memiliki risiko kematian yang sangat tinggi dan mungkin kapasitas perawatan kesehatan di China akan segera kewalahan oleh lonjakan kasus," kata Hiroshi Nishiura, anggota gugus tugas Covid Jepang.

Kesuksesan kebijakan nol Covid hingga kasus meledak lagi

Mengutip dari CNN, aturan ketat kebijakan nol Covid-19 patut diakui memang sukses diterapkan di China mulanya memang sukses, terutama saat Olimpiade Musim Dingin dihelat di Beijing pada awal 2022.

Saat itu, China seakan 'bersih' dari amukan virus corona terutama varian Omicron yang menghantam banyak negara di dunia.

Beijing mengetatkan aturan penggunaan masker, menyemprot disinfektan di segala penjuru, dan melakukan tes Covid-19 secara masif. Kesuksesan itu menambah narasi partai bahwa sistem politik Beijing lebih unggul dibanding sistem demokrasi Barat dalam menangani pandemi.

Itu yang digembar-gemborkan Xi saat dia bersiap maju periode ketiga atas jabatannya di Partai Komunis China (PKC).

Namun, tak lama setelah itu, omicron akhirnya berhasil menembus pertahanan 'muluk' Beijing. Pada pertengahan Maret, China menghadapi gelombang terburuk sejak pandemi merebak. Ribuan kasus baru dilaporkan setiap hari.

Negeri Tirai Bambu pun memperketat protokol kesehatan, termasuk dengan memberlakukan karantina atau lockdown. Warga jadi terseok-seok. Mereka kekurangan pangan, tak bisa mendapat perawatan medis memadai, tak bisa memperoleh pekerjaan, sampai fasilitas karantina ambrol.

Di tengah kisruh itu, muncul sejumlah insiden seperti anak usia tiga tahun yang meninggal karena menghirup gas saat tengah lockdown di rumah. Seorang anak perempuan usia empat bulan juga meninggal saat karantina di hotel karena tak bisa mendapat perawatan medis selama 12 jam.

Pada akhir November, terjadi pula kebakaran di sebuah apartemen di wilayah Urumqi. Sepuluh orang tewas saat itu karena petugas pemadam kebakaran terlambat datang akibat terhambat lockdown. Warga murka bukan kepalang seiring banyak nyawa melayang.

Tak ayal, protes pecah di mana-mana. Kepercayaan publik terhadap pemerintahan Xi jadi terkikis.

Masyarakat menuntut kebijakan nol-Covid dicabut dan mendesak Xi Jinping turun jabatan.

Pada waktu yang sama, omicron juga seolah sudah memegang kendali. Negara itu mencatat rekor harian lebih dari 40 ribu kasus bersamaan dengan tekanan ekonomi yang kian mencekik.

Demi menenangkan warga, pemerintah China akhirnya mulai melonggarkan pembatasan. Pada 7 Desember, kebijakan ketat Beijing dicabut. Lockdown dituntaskan, penduduk diizinkan melakukan karantina di rumah.

Para pejabat juga tak lagi ambil pusing dengan ancaman virus corona.

Namun nahas, pencabutan yang selama ini ditunggu-tunggu itu jadi bumerang bagi warga China, termasuk Xi.

Kasus Covid-19 saat ini jadi pukulan serius bagi kredibilitas pemerintah China.

Melansir dari Channel News Asia, China terus dihadapkan dengan lonjakan kasus Covid-19 yang signifikan dalam sebulan terakhir. Rumah sakit hingga krematorium di seluruh negeri di seluruh negeri dipenuhi pasien serta korban jiwa Covid-19.

Data publik terakhir China pada 21 Desember lalu mencatat 5.944 kasus Covid-19 baru. Namun, sejumlah pihak meyakini angka itu jauh dari jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 sebenarnya.

Beijing bahkan menyetop memublikasikan kasus harian Covid-19 per Senin (26/12).

Baca halaman selanjutnya

Langkah Terbaru Pemerintah China Hadapi Covid-19


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :