Raja Yordania, Abdullah II, meminta masyarakat dunia was-was terhadap potensi intifada atau pemberontakan yang terjadi di Israel di tengah gejolak status Masjid Al-Aqsa.
Dia mengatakan jika pemberontakan terjadi, itu merupakan pelanggaran hukum yang tak akan membuat untung baik untuk Israel maupun Palestina.
"Kita harus was-was tentang intifada (pemberontakan) berikutnya. Jika itu terjadi, itu merupakan pelanggaran hukum dan ketertiban yang tidak akan diuntungkan oleh Israel maupun Palestina," kata Raja Abdullah II dalam wawancara eksklusif bersama CNN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berujar saat ini banyak mata yang menyoroti wilayah Palestina yang kini dipersengketakan Israel. Oleh sebab itu, pemberontakan semacam itu perlu dipastikan tak boleh terjadi.
"Saya pikir kita menaruh banyak perhatian tentang wilayah ini, termasuk mereka yang berada di Israel yang berada di pihak kita dalam masalah ini, untuk memastikan hal itu (intifada) tidak terjadi lagi," lanjut dia.
Dalam kesempatan itu, Raja Abdullah II juga menegaskan negaranya siap menghadapi konflik terbuka apabila Israel berani mengubah status masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Dia mengatakan Yordania memiliki batas kesabaran merespons niat Israel tersebut.
"Jika orang ingin terlibat konflik dengan kami, kami cukup siap," kata Raja Abdullah II kepada reporter Beck Anderson.
"Saya selalu percaya bahwa, mari kita lihat dari gelas setengah penuh, tetapi kami memiliki batasan tertentu dan jika orang ingin mendorong batasan itu, maka kami akan menghadapinya," paparnya menambahkan.
Meski begitu, Raja Abdullah enggan menjabarkan respons seperti apa yang akan dilakukan jika Israel mengubah status kontrolnya terhadap Yerusalem.
Perang antara Israel dan Palestina memang jadi yang paling mematikan di tahun ini. Banyak bentrokan terjadi yang mengakibatkan jumlah korban jiwa di kedua belah pihak mencapai rekor tertinggi dalam dua dekade terakhir.
Di tingkat diplomasi, konflik dengan Palestina baru sedikit menemukan titik terang kala PM Israel Yair Lapid menegaskan negaranya mendukung pembentukan Palestina melalui solusi dua negara dalam pidatonya di Majelis Umum PBB September lalu.
Namun, belum sempat terealisasi, PM Yair Lapid sudah diganti Netanyahu yang memenangkan pemilihan umum pada awal November lalu. Sementara itu, Netanyahu selama ini terkenal sebagai pemimpin Israel yang membenci Palestina.
Ia bahkan pernah menganggap pembentukan negara Palestina sebuah kesalahan besar dan berbahaya bagi eksistensi Israel.