Turki Disebut Bakal Hengkang dari NATO dalam Enam Bulan
Turki dilaporkan tengah berencana keluar dari Pakta Pertahanan Negara Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO).
Wakil Ketua Partai Tanah Air Turki, Ethem Sancak, mengatakan Ankara berencana meninggalkan aliansi pertahanan terbesar di dunia itu dalam lima sampai enam bulan ke depan. Padahal Ankara telah menjadi anggota NATO selama 71 tahun.
Lihat Juga : |
Ia menuturkan tekanan yang kian kuat sampai perkembangan relasi Turki dengan NATO dan beberapa negara Eropa belakangan ini membuat Ankara mempertimbangkan keluar dari aliansi.
"NATO memaksa kami bertindak melalui provokasi-provokasinya. Mereka (NATO) mencoba mengadu domba kami dengan tetangga kami Yunani," kata Sancak dalam wawancara bersama surat kabar Aydinlik dikutip kantor berita Rusia, TASS, pada Rabu (25/1).
Sancak menuding NATO sempat berupaya membuat Turki "terperangkap" dalam peperangan di Timur Tengah. Pernyataan Sancak itu merujuk pada perang sipil di Suriah.
"Dan akhir-akhir ini, Anda semua bisa melihat kampanye anti-Al Quran di Swedia dan Belanda," ucapnya.
Lihat Juga : |
"Perkembangan-perkembangan ini mendorong kami mengambil langkah-langka seperti ini," ujar Sancak lagi seperti dikutip TASS.
Belakangan sentimen terhadap NATO memang meningkat di Turki. Pada 19 Januari lalu, Partai Patriotik Turki mengumumkan peluncuran kampanye nasional mendesak pemerintah Presiden Recep Tayyip Erdogan meninggalkan NATO.
Kelompok anti-Amerika di Turki juga berulang kali meminta Ankara menutup pangkalan militer Negeri Paman di negara itu, membatalkan kontrak pembelian jet F-16, dan menarik diri dari NATO.
Rumor Turki ingin hengkang dari NATO ini berlangsung ketika Ankara menjadi buah pembicaraan negara-negara anggota lantaran menolak Swedia dan Finlandia yang ingin masuk aliansi itu.
Keinginan Swedia dan Finlandia mendaftar masuk NATO muncul setelah Rusia berani melancarkan invasi ke Ukraina sejak Februari 2022.
Erdogan menolak Swedia dan Finlandia masuk NATO lantaran menilai kedua negara masih mendukung kelompok yang dianggap Turki "organisasi teroris" seperti Partai Pekerja Kurdistan (PKK).
Erdogan bahkan menuntut kedua negara itu merepatriasi aktivis PKK jika ingin mendapat restu Turki untuk masuk NATO.
Namun, restu Erdogan bagi Swedia semakin pudar setelah insiden pembakaran Al Quran oleh salah satu politikusnya dalam demonstrasi anti-Islam di depan Kedubes Turki di Stockholm akhir pekan lalu.
Erdogan memperingatkan Swedia agar tidak berharap mendapat dukungannya untuk bergabung dengan NATO akibat kejadian itu.
"Swedia seharusnya tidak mengharapkan dukungan kami untuk NATO," kata Erdogan dalam tanggapan resmi pertamanya terhadap tindakan politisi anti-Islam selama protes pada Sabtu (21/1) disetujui polisi Swedia meski Turki keberatan.
"Jelas mereka yang menyebabkan aib seperti itu di depan kedutaan besar negara kami tidak lagi dapat mengharapkan kebaikan dari kami atas permohonan mereka untuk menjadi anggota NATO," kata Erdogan seperti diberitakan AFP.
(rds/bac)