Anggota ICC Afsel Tetap Undang Putin Meski Ada Perintah Penangkapan
Salah satu negara anggota Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Afrika Selatan, mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin usai muncul surat perintah penangkapan.
Menteri Luar Negeri Afsel Naledi Pandor mengonfirmasi negaranya mengundang Putin untuk berpartisipasi dalam konferensi tingkat tinggi BRICS.
Acara ini akan berlangsung di Durban pada 24 Agustus. Afsel merupakan salah satu anggota koalisi ekonomi BRICS bersama Brasil, India, China, dan Rusia.
Menyoal surat perintah penangkapan terhadap Putin, Pandor mengatakan pemerintah belum menentukan sikap.
"Kami harus berdiskusi dengan kabinet untuk memutuskan bagaimana bakal bertindak," kata Pandor, seperti dikutip dari Telesur, Kamis (23/3).
Pandor juga menyinggung masalah standar ganda dalam urusan internasional.
"Ada banyak negara yang terlibat dalam perang, menginvasi wilayah, membunuh warga, dan menangkap aktivis. Namun, mereka tak dipanggil ICC," ujar dia lagi.
Ia lalu mengatakan jika seseorang memiliki kekuatan, pengaruh, dan menikmati status tertentu di komunitas internasional, ia bisa lolos dari dakwaan ICC.
"Anda bisa lolos dan ini membuat kami khawatir karena mengaburkan objektivitas ICC sebagai arbiter yang adil," imbuh Pando.
Pekan lalu, ICC merilis surat penangkapan terhadap Putin dan Komisaris Hak untuk Anak di Kepresidenan Rusia Maria Lvova-Belova.
Mereka dituduh bertanggung jawab atas kejahatan perang dengan mendeportasi dan memindahkan secara paksa anak-anak Ukraina ke Rusia.
Seluruh anggota ICC yang berjumlah 123 negara wajib bertindak berdasarkan surat perintah penangkapan itu. Artinya, jika Putin memasuki salah satu wilayah itu, dia harus ditahan penegak hukum nasional. Namun, keengganan Afsel mengikuti seruan ICC bukan kali pertama.
Pada Juni 2015, Afsel menjadi tuan rumah Uni Afrika (AU) dan mengizinkan Presiden Sudan Omar Al Bashir hadir.
Enam tahun sebelumnya, Al Bashir menghadapi surat perintah penangkapan untuk genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pemerintah Afsel mengklaim tak bisa menangkap dia karena kekebalan diplomatik.
Namun, dalam waktu kurang dari 48 jam, presiden Sudan itu kembali ke negaranya untuk menghindari masalah.
(isa/bac)