Aktivis hak-hak Yesuit yang berbasis di Gujarat, Cedric Prakash, mengatakan Pasal 25 Konstitusi India menjamin bahwa setiap orang punya hak untuk secara bebas berkhotbah, mempraktikkan, dan menyebarkan agama mereka.
"Namun undang-undang anti-konversi yang kejam melanggar hak-hak dasar warga negara India. Undang-undang anti-konversi jelas dimaksudkan untuk menindak minoritas agama India, terutama muslim dan kristen," ujar Prakash kepada VOA.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian melanjutkan, "Mereka juga dimaksudkan untuk mempolarisasi orang-orang di garis agama dan untuk melegitimasi mayoritas di negara ini."
Meski begitu, para pemimpin partai yang berkuasa di India bersikeras bahwa undang-undang anti-konversi ini telah diberlakukan guna "menyetop konversi yang dilakukan dengan tindakan koersif".
"Di India, banyak orang yang pindah agama oleh janji pernikahan, uang, dan juga cara-cara tak etis lainnya. Undang-undang anti-pindah agama dimaksudkan untuk menghentikan praktik ilegal semacam itu," kata pemimpin senior Partai Bharatiya Janata, Alok Vats, kepada VOA.
"Tentu saja, kami tidak punya masalah dengan pindah agama secara sukarela. Tidak ada yang bisa menantang kebebasan seseorang yang mengubah agama secara sukarela."
Sejumlah kelompok Hindu dan pemimpin partai nasionalis Bharatiya Janata sebelumnya menuding bahwa misionaris kristen mengajak orang-orang di India memeluk agama tersebut melalui daya pikat, penggunaan kekuatan, dan cara-cara curang.
Selama beberapa waktu tahun terakhir, mereka juga mengklaim bahwa para Muslim mengubah warga India menjadi Islam melalui cara yang tak adil.
(blq/bac)