Jakarta, CNN Indonesia --
Pekan lalu, masjid Al Aqsa membetot perhatian usai pasukan Israel menyerbu tempat itu dan memukuli jemaah. Insiden semacam ini bukan kali pertama di Al Aqsa.
Kenapa situasi di situs suci Al Aqsa semakin panas?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masjid Al Aqsa berada di kompleks Al Aqsa atau biasa disebut Temple Mount oleh umat Yahudi di Kota Tua, Yerusalem.
Kompleks tersebut menjadi situs suci bagi umat Muslim, Yahudi, dan Kristen.
Di kompleks itu terdapat beberapa situs yakni Masjid Al Aqsa, Dome of the Rock (kubah batu), dan tembok ratapan.
Orang Yahudi menganggap situs itu sebagai dua kuil alkitabiah yang pernah berdiri dan dianggap situs tersuci dalam Yudaisme.
Mereka boleh mengunjungi Al Aqsa, tetapi tak diizinkan berdoa di sana. Para rabi terkemuka di Israel berpendapat bahwa umat Yahudi tak bisa mendekati Bait Suci karena posisinya yang sangat suci. Kompleks Al Aqsa dibangun di kawasan bukit Bait Suci.
Jika pun ingin masuk ke situs suci, umat Yahudi harus menggelar ritual yang rumit.
[Gambas:Video CNN]
Namun dalam beberapa tahun terakhir, aktivis Temple Mount Yahudi sayap kanan mendorong lebih banyak kunjungan ke daerah itu. Beberapa juga berdoa secara diam-diam.
Warga Palestina dan pemangku kepentingan lain menggambarkan tindakan tersebut sebagai provokasi.
Berdasarkan status quo, hanya Muslim yang punya hak tunggal beribadah di dalam kompleks Al Aqsa. Selain non-Muslim hanya diizinkan untuk berkunjung.
Sementara itu, Dome of the Rock dianggap sebagai salah satu situs suci bagi umat Muslim. Ini merupakan tempat pijakan Nabi Muhammad sebelum melakukan perjalanan ke langit tujuh atau Isra Mikraj untuk menerima wahyu soal salat lima waktu.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
Konflik di Al Aqsa
Dalam beberapa tahun terakhir insiden di sekitar kompleks Al Aqsa memicu perseteruan Israel-Palestina.
Pada 2000, mendiang ketua partai Likud Ariel Sharon memimpin sekelompok anggota parlemen Israel berkunjung ke Temple Mount. Saat itu, lawatan Sharon dianggap memicu gerakan perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel atau intifada kedua.
Kemudian pada 2017, ribuan jemaah beribadah di luar kompleks sebagai protes usai pasukan Israel memasang detektor logam di pintu masuk Al-Aqsa.
Pemasangan ini berlangsung setelah dua petugas meninggal gegara tertembak. Otoritas Israel kemudian membunuh pelaku bersenjata itu.
Protes juga menyebar ke luar negeri, hingga akhirnya pemerintah Israel mencopot detektor logam.
Selain itu, ada pula gesekan soal pembatasan akses ke tempat suci. Pihak berwenang Israel kerap membatasi usia warga Palestina yang boleh salat di Masjid Al-Aqsa, dan mengunjungi Yerusalem bagi warga Palestina dari Tepi Barat dan Gaza.
Lalu pada 2021, serangan dan konfrontasi Israel di Al-Aqsa memicu perang selama 11 hari antara Israel dan kelompok Islam militan Hamas di Gaza.
Wilayah warga Palestina menyusut
Daniel Seidemann, pendiri organisasi yang mengadvokasi solusi dua negara Terestrial Jerusalem, mengatakan ada ruang warga Palestina yang menyusut dan gerakan ultranasionalis Israel yang kian intensif.
Sejumlah pihak menyebut Al Aqsa menjadi simbol perlawanan warga Palestina atas pendudukan Israel.
"Al-Aqsa dan bangunan lain di kompleks adalah tempat yang paling sedikit diduduki di Yerusalem. Hari ini, itu menjadi yang paling diduduki di Yerusalem," kata Daniel, seperti dikutip Deutsche Welle, Kamis (14/4).
Daniel juga menerangkan tak ada satu pun penyebab yang pasti untuk kondisi semacam itu.
"Apa yang kita lihat secara umum di Yerusalem adalah apa yang saya sebut sebagai senjata iman, di mana gerakan yang mendorong peristiwa dan mengendalikan wacana di Yerusalem lebih ekstrem, lebih absolut, dan lebih eksklusif," ungkap dia lagi.
Israel, lanjut dia, mengintensifkan gerakan ultranasionalis Temple Mount di Yerusalem.
Pasukan Israel juga sering menuduh warga Palestina di situs tersebut seolah-olah membuat masalah dan bisa menghasut kekerasan.
Sementara itu, di pihak Palestina, ada kelompok Islam militan seperti Hamas yang menyatakan diri sebagai "pembela" Al-Aqsa.
Kompleks Al Aqsa berada di bawah pendudukan Israel sejak negara Zionis itu merebut Yerusalem timur dari Yordania dalam Perang Enam Hari pada 1967.
Israel dan Yordania kemudian menjalin kesepakatan. Yordania akan terus mempertahankan bagian dalam situs tersebut, sementara Israel bakal mengontrol bagian luar.
Selain itu, Israel juga mencaplok bagian timur dan menyatakan seluruh kota sebagai ibukota mereka. Di sisi lain, Palestina juga ingin melihat Yerusalem timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka.