Mantan putra mahkota Iran, Reza Pahlavi, menjadi sorotan usai mengumumkan bakal mengunjungi Israel saat hubungan kedua negara tengah panas.
Ia diundang Menteri Intelijen Israel, Gila Gamliel, untuk menghadiri acara Peringatan Hari Holocoust di Yad Vashem yang diprediksi berlangsung hari ini, Senin (17/4), demikian laporan National News.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lawatan ini bakal menjadi kunjungan bersejarah bagi Pahlavi.
Terlepas dari itu, siapa sebetulnya Reza Pahlavi?
Pahlavi saat ini mengasingkan diri di Virginia, Amerika Serikat, dan menjadi tokoh oposisi yang kerap mengkritik pemerintah Iran dari sana.
Ia tercatat sebagai putra mahkota dan pewaris takhta terakhir sebelum Kerajaan Iran dikudeta dalam revolusi pada 1979.
Pahlavi selama ini dikenal sebagai sosok yang menyuarakan pluralisme dan demokrasi parlementer di Iran. Di situs resminya, ia bahkan mengaku bakal terus berjuang sampai negara itu menjadi demokratis.
"Saya tak akan berleyeh-leyeh sampai Iran punya pemerintahan yang nasional, demokratis, dan terpilih," demikian keterangan situs itu.
Pahlavi juga sempat menyampaikan pesan saat demonstrasi besar-besaran melanda negara itu usai Mahsa Amini meninggal.
"Kepada para perempuan pemberani di negara saya yang telah menjadi pelopor kebebasan di Iran dan Timur Tengah sejak awal gerakan konstitusional kita hingga sekarang: dunia akhirnya mendengar suara Anda," kata dia di situs resminya.
Pernyataan serupa juga terlontar saat gelombang demonstrasi melanda Iran pada 2018 silam.
Ketika itu, warga protes karena harga pangan melambung, angka pengangguran tinggi, dan standar kehidupan tak kunjung membaik, tak seperti yang dijanjikan pemerintah.
Pahlavi meyakini gelombang demonstrasi itu bukan cuma soal harga bahan pangan. Namun menurutnya, demonstran juga mengeluhkan sistem politik Iran.
"Waktunya sudah benar-benar tiba untuk koalisi besar-besaran," kata dia saat berada di Washington ketika itu, seperti dikutip Associated Press (AP).
Ia menganggap ketidakpuasan saat itu lebih mengancam Iran dibanding kekerasan usai pemilihan umum pada 2009 lalu.
Saat itu, sejumlah kelompok tak setuju atas kemenangan kembali Mahmoud Ahmadinejad dalam pemilu. Mereka lalu menggelar demonstrasi bertajuk Gerakan Hijau.
Dalam wawancara dengan AP, Pahlavi juga mengaku berusaha membantu para aktivis Iran, pembela hak asasi manusia, pemimpin serikat buruh, jurnalis, hingga mahasiswa dalam menentang kepemimpinan Ayatollah Khamenei.
Saat itu, Pahlavi menggambarkan diri sebagai sosok yang berpihak ke para demonstran dengan meminta respons negara Barat dan mempertimbangkan sanksi baru terkait situasi di Iran.
"Ini adalah perampas yang menginvasi negara, menyandera kami, dan kami akan mendapat kembali negara kami," ujar dia.
Pahlavi terus mengikuti perkembangan di Iran melalui jaringan yang dia miliki di luar maupun di dalam pemerintahan.
Di tengah "semangat perjuangan" itu, pejabat Iran menuduh Pahlavi mengeksploitasi ketidakstabilan untuk memajukan aspirasi pribadi akan kekuasaan. Terlebih, beberapa pihak masih ingat saat ayah dia memimpin Iran.
Ayah Pahlavi, Shah Mohammad Reza, pernah memimpin Iran dari 1941 sebelum digulingkan dalam Revolusi Iran, yang dimulai pada 1978.
Dia bukanlah sosok yang demokratis. Ia bahkan dianggap represif dan boros.
Bagaimana kehidupan pribadi Pahlavi? Baca di halaman berikutnya >>>