Sebanyak 56 orang tewas dalam bentrokan antara militer Sudan dan pasukan paramiliter utama, yang terjadi sejak Sabtu (15/4).
Bentrokan pecah di tengah perebutan kekuasaan antara dua faksi utama rezim militer Sudan.
Militer Sudan berada di bawah kekuasaan penguasa de facto, Abdel Fattah al-Burhan. Sementara pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF), ada dalam kendali mantan panglima perang, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang juga dikenal sebagai Hemedti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari The Guardian, perebutan kekuasaan di Sudan telah berakar sejak sebelum pemberontakan tahun 2019, yang menggulingkan pemimpin diktator Omar al-Bashir.
Pasca jatuhnya Bashir, upaya Sudan untuk beralih menjadi pemerintahan sipil yang demokratis terus mengalami hambatan. Persaingan dan kekerasan demi merebut kekuasaan tidak terhindarkan.
Para diplomat di Khartoum (ibu kota Sudan), telah memperingatkan sejak awal 2022 bahwa pecahnya kekerasan antara dua faksi militer bisa pecah kapan saja.
Rapid Support Forces (RSF) dibentuk oleh Bashir untuk menumpas pemberontakan sipil di Darfur, yang dimulai lebih dari 20 tahun lalu.
Pemberontakan Darfur terjadi lantaran pemerintah pusat di Sudan mengabaikan aspirasi politik dan ekonomi yang disuarakan masyarakat setempat.
RSF yang juga dikenal dengan nama Janjaweed, kerap dikaitkan dengan berbagai insiden kekejaman yang meluas di Sudan.
Pada tahun 2013, Bashir mengubah Janjaweed menjadi pasukan paramiliter semi-terorganisir, bahkan memberi pangkat militer kepada para pemimpin mereka sebelum dikerahkan ke pemberontakan Darfur Selatan.
Tak hanya itu, pasukan paramiliter Janjaweed juga dikirim untuk berperang di Yaman dan Libya.
Pada 2019, RSF yang dipimpin Hemedti dan pasukan militer negara di bawah kendali Abdel Fattah al-Burhan, bersekongkol menggulingkan Bashir.
RSF kemudian membubarkan aksi damai di depan markas militer di Khartoum, hingga menewaskan ratusan orang dan memperkosa puluhan korban lainnya.