Bulan Ramadan memiliki banyak makna bagi warga Tunisia, salah satunua untuk penyucian jiwa dan momen berkumpul dengan keluarga.
Penyucian jiwa itu ditandai dengan menyambut suka cita Ramadan, bersih-bersih dan menghias rumah. Beberapa bahkan membeli barang serba baru, mulai taplak meja, alat masak, hingga peralatan dapur lain.
Bulan Ramadan juga dimanfaatkan warga di sini untuk mempererat kekeluargaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiga jam sebelum azan Magrib berkumandang jalanan kerap sepi. Tidak ada tradisi ngabuburit seperti di Indonesia. Umat Muslim di Tunisia betul-betul menikmati setiap momen Ramadan bersama orang-orang terkasih.
Mereka juga lebih sering memasak sendiri kemudian di santap bersama-sama bersama keluarga atau tetangga.
Lihat Juga : |
Ini membuat saya rindu sekali dengan suasana Ramadan di Indonesia, terlebih makanan hingga takjil yang wajib muncul selama buka puasa di bulan Ramadan. Bagi sebagian warga Indonesia, tak lengkap rasanya jika tidak mengawali buka puasa dengan jajanan manis dan tak menyantap gorengan.
Rasa rindu akan momen Ramadan di Indonesia sedikit terobati saat saya blusukan menemui warga Indonesia yang ada di sini dan berbuka puasa bersama mereka. Agar suasana Indonesia makin terasa, kami pun menyediakan sejumlah makanan khas Tanah Air, terutama gorengan.
Itu cara saya menghadirkan "keindonesiaan" saat kampung terasa nan jauh di sana.
Pada 9 April lalu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Tunisia juga menggelar peringatan Nuzulul Quran di Wisma Duta Besar RI.
Sekali lagi, ini upaya kami menghadirkan Indonesia sekaligus menghormati bulan suci Ramadan.
Di acara tersebut, ada dua penceramah yang hadir yakni Dewan Tinggi Islam Tunisia Sheikh Shalahudin Al Mustawi dan mahasiswa Indonesia program doktoral Ardi Pramana.
Saya menegaskan tradisi memperingati malam Nuzulul Quran merupakan momen untuk menjadikan Al Quran sebagai momen membangun peradaban.
Dalam pandangan saya, Indonesia punya modal untuk membangun peradaban adiluhung, karena punyai kitab Suci Al Quran, yang bisa dijadikan sumber dan modal sosial.
Peringatan malam turunnya Al Quran merupakan tradisi baik khas Indonesia, yang diprakarsai Presiden pertama RI, Soekarno, di Istana Merdeka. Ia bahkan kerap mengkhatamkan Al Quran di penjara dan pengasingan.
Bagi Bung Karno, Al Quran merupakan sumber rasionalitas dan kemajuan peradaban bangsa.
Sheikh Shalahudin, saya kira, juga punya pandangan serupa dengan Bung Karno. Ia menekankan betapa penting kitab suci itu sebagai energi perubahan dan kerja.
"Sama dengan Indonesia, para pendiri bangsa dan ulama Tunisia menjadikan Al Quran sebagai energi perubahan dan kerja bagi kemajuan," kata dia saat ceramah di KBRI Khartoum.
Ia kemudian berujar, "Ini merupakan tradisi yang sangat baik, sehingga Indonesia mempunyai citra positif di dunia Islam dan menjadi fondasi bagi kemajuan Indonesia."
(isa/rds)