Apa Tujuan Paramiliter RSF Picu Perang Saudara di Sudan?
Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) menyerbu sejumlah situs strategis dan pemerintah di Ibu Kota Khartoum pada hingga menduduki Istana Kepresidenan dan bandara internasional pada 15 April lalu.
Penyerbuan RSF ini pun memicu pertempuran dengan militer Sudan. Angkatan bersenjata negara Afrika utara itu sampai tak segan meluncurkan serangan udara ke sejumlah basis RSF di ibu kota yang dekat dengan permukiman warga.
Lihat Juga :CATATAN DIPLOMAT 'Sepi' Lebaran di Saudi Tanpa Gema Takbir di Malam Idulfitri |
Hingga kini, perang saudara itu telah menewaskan setidaknya lebih dari 400 orang termasuk 9 anak-anak. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Jepang, hingga Korea Selatan telah mulai mengevakuasi warganya dari Khartoum.
Apa tujuan RSF sebenarnya sampai memicu perang saudara di Sudan?
"Revolusi baru masih terus mencapai tujuan mulianya, terutama pembentukan pemerintahan sipil yang akan membawa kita menuju transisi demokrasi yang nyata," ujar RSF dalam pernyataannya, dilansir middle east online pada Minggu (23/4).
Bentrokan di Khartoum pecah ketika RSF dan militer Sudan saling berebut kekuasaan di negara itu.
Kubu pertama adalah militer Sudan yang berada di bawah kekuasaan penguasa de facto, Abdel Fattah al-Burhan.
Sedangkan, kubu kedua merupakan pasukan paramiliter RSF yang berada di bawah kendali mantan panglima perang, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti.
Perebutan kekuasaan ini telah terjadi sejak sebelum pemberontakan pada 2019, yang menggulingkan pemimpin diktator Omar Al Bashir.
Vacuum of power
Upaya Sudan beralih ke pemerintahan sipil yang demokratis terus mengalami hambatan usai Bashir lengser. Lantas, terjadilah persaingan dan kekerasan demi merebut kekuasaan akibat kekosongan di pucuk pemerintahan (vacuum of power).
Pada Oktober 2021, terjadi kudeta yang membuat tentara kembali berkuasa, padahal saat itu transisi menuju pemerintahan demokratis sedang berjalan. Imbasnya, proses itu terganggu dan membuat warga kembali protes hingga memperparah kondisi ekonomi negara.
Menelisik lebih jauh, penyebab utama ketegangan di Sudan disebabkan karena tuntutan masyarakat sipil untuk pengawasan militer dan integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata negara.
Mengutip The Guardian, warga sipil mendesak militer menyerahkan kepemilikan mereka di sektor-sektor pertanian, perdagangan, dan industri lainnya.
Masyarakat juga menuntut keadilan atas kejahatan perang oleh militer dan sekutu dalam konflik di Darfur pada 2003 silam.
Selain itu, mereka turut meminta keadilan atas pembunuhan terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Juni 2019 yang melibatkan pasukan militer.
Para aktivis dan kelompok sipil tak terima dengan berbagai penundaan penyelidikan resmi. Mereka juga menginginkan keadilan bagi setidaknya 125 orang yang tewas oleh pasukan keamanan dalam aksi protes sejak kudeta pada 2021 lalu.
Sudan, yang berada di wilayah yang berbatasan dengan Laut Merah, tak pernah lepas dari konflik. Berlokasi strategis dengan kekayaan di bidang pertanian membuat Sudan menarik perhatian kekuatan kawasan.
Hal tersebut makin menyulitkan pemerintah Sudan untuk melakukan transisi dari militer ke pemerintahan yang dipimpin sipil.
Terlebih, sejumlah negara tetangga Sudan seperti Ethiopia, Chad, dan Sudan Selatan, juga terdampak pergolakan dan konflik politik ini.
Tak hanya itu, Rusia, Amerika Serikat, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara kekuatan lainnya juga diduga berusaha mendapatkan pengaruh di Sudan.
Adapun Saudi dan UEA melihat transisi pemerintahan Sudan sebagai peluang untuk mendorong kembali pengaruh Islam di wilayah itu. Mereka bersama-sama dengan AS dan Inggris lantas membentuk "Quad", pihak yang mensponsori mediasi di Sudan bersama dengan PBB dan Uni Afrika.
(pop/rds)