Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) ikut angkat suara soal perang saudara di Sudan.
WHO mengatakan milisi Sudan kini menduduki laboratorium nasional di ibu kota, Khartoum, yang menyimpan sampel penyakit seperti polio dan campak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perwakilan WHO di Sudan, Nima Saeed Abid, menilai pendudukan ini bisa menciptakan "situasi sangat berbahaya."
"Ada risiko biologis yang sangat besar terkait dengan pendudukan laboratorium kesehatan masyarakat pusat," kata Abid seperti dikutip AFP, Selasa (25/4).
Abid lalu bercerita ia menerima telepon dari kepala laboratorium nasional pada Senin, sebelum gencatan senjata selama tiga hari.
"[Milisi] mengusir semua teknisi dari lab, yang sepenuhnya berada di bawah kendali salah satu pihak yang bertempur sebagai pangkalan militer," ujar dia lagi.
Namun, Abid tak menjelaskan lebih rinci pihak mana yang mengambil alih laboratorium tersebut.
Belakangan, Sudan bergejolak saat pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RFS) dan pasukan keamanan perang memperebutkan kekuasaan sejak pekan lalu.
Direktur laboratorium, lanjut Abid, telah memperingatkan bahaya bahwa menghabiskan stok kantong darah berisiko rusak karena kekurangan daya.
"Selain bahaya kimia, bahaya biorsik juga sangat tinggi karena genset yang tak berfungsi dengan baik," ucap dia.
Badan Kesehatan itu juga telah mengonfirmasi 14 serangan menghantam layanan kesehatan selama pertempuran berlangsung. Imbas serangan ini, delapan orang tewas dan dua lainnya mengalami luka-luka.
Sementara itu, menurut data Kementerian Kesehatan Sudan jumlah kematian mencapai 459 jiwa dan 4.072 orang mengalami luka-luka imbas pertempuran. Perang juga menyebabkan ribuan orang mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) memperkirakan 45 ribu orang Sudan mengungsi ke Sudan Selatan.
(isa/bac)