Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Recep Tayyip Erdogan menjadi sorotan usai kembali memenangkan pemilihan umum (Pemilu) Turki pada Minggu (28/5). Ia berhasil mengamankan kursi presiden di periode ketiga.
Terlepas dari kemenangan ini, sejak kapan Erdogan menjadi presiden Turki?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erdogan menjadi presiden Turki setelah memenangkan pemilu langsung pertama dalam sejarah Turki pada 2014.
Sebelum menjadi presiden, ia sempat menjadi perdana menteri dari 2003 hingga 2014. Saat itu, posisi perdana menteri masih menjadi yang paling berkuasa dalam konstitusi Turki sebelum dilakukan amandemen.
Di periode pertama menjadi presiden, Erdogan mendapat ujian besar. Salah satunya, partai yang dipimpin, Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP), kalah mayoritas suara di pemilu legislatif pada Juni 2015.
[Gambas:Video CNN]
Kemudian partai itu berhasil meraih mayoritas suara di pemilu sela.
Pada 2016, cobaan kembali menghantam Erdogan usai upaya kudeta militer muncul yang diduga dari kelompok Kurdi. Namun, usaha penggulingan pemerintah ini gagal.
Di tahun itu pula, muncul serangkaian bom bunuh diri di Turki. Salah satunya serangan bom mobil di dekat kampus Kota Kayseri pada Desember. Imbas insiden ini, 13 orang tewas dan 56 terluka.
Erdogan lantas menyalahkan milisi Kurdi atas serangan tersebut.
"Cara dan tujuan serangan jelas menunjukkan tujuan organisasi teroris untuk mengganggu Turki," kata Erdogan pada 2016, seperti dikutip Reuters.
Ia kemudian berujar, "Kami tahu serangan yang kami alami tak lepas dari perkembangan di wilayah kami, terutama di Irak dan Suriah."
Erdogan menuding serangan itu didalangi oleh Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Erdogan menuding PKK sebagai organisasi teroris separatis.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
Sementara itu, pada 2017, Erdogan juga berhasil meloloskan referendum perubahan sistem politik Turki dari demokrasi parlementer menjadi presidensial, demikian dikutip Associated Press.
Sejumlah pengamat menilai referendum itu untuk menerapkan aturan one man rule atau pemerintahan yang dikuasai satu orang.
Meski menuai kritik selama pemerintahan, Erdogan bak tak kehilangan pendukung. Pada pemilu 2018, ia berhasil mengalahkan tiga lawannya di kontestasi politik tersebut.
Mereka yang dikalahkan Erdogan adalah tokoh oposisi dari Partai Rakyat Republik, Muharrem Ince, Selahattin Demirtas dari Partai Rakyat Demokrat, dan pemimpin Partai Felicity, Dogu Perincek.
Di pemilu saat itu, Organisasi untuk Keamanan dan Kerja sama di Eropa (Organization for Security and Co-operation in Europe/OSCE) menuduh ada kecurangan dalam kontestasi tersebut.
OSCE menduga partai oposisi tak punya kesempatan yang sama seperti partai penguasa. Selain itu, kebebasan media yang minim di Turki turut menguntungkan Erdogan.
Pembatasan kebebasan berbicara, kebebasan media, dan kebebasan berkumpul berdampak terhadap pemungutan suara, demikian dikutip Deutsche Welle.
Lima tahun kemudian atau tepatnya 2023, Erdogan kembali mencalonkan diri. Kali ini, ia melawan oposisi dari Partai Rakyat Republik (CHP), Kemal Kilicdaroglu, dan Sinan Ogan.
Namun, di pemilu itu Erdogan disebut susah payah mendapat suara. Di pemerintahan ini, dia panen kritik usai krisis ekonomi menghantam Turki hingga penanganan gempa pada Februari lalu.
Di putaran pertama, Erdogan juga hanya mendapat 49,51 persen perolehan suara, sementara Kilicdaroglu 44, 88 persen, dan Ogan sekitar lima persen.
Untuk bisa menjadi presiden Turki, calon harus mengantongi lebih dari 50 persen. Namun, di antara ketiga calon tersebut tak ada yang mencapai ambang batas itu.
Dengan demikian, putaran kedua pemilu Turki 2023 berlanjut. Di putaran kedua ini, Erdogan mendapat 52,14 persen perolehan suara, dan Kilicdaroglu sebesar 47, 86 persen.
Jumlah itu membuat Erdogan kembali duduk di kursi presiden untuk periode ketiga.