"Apa yang kita tuntut? Keadilan iklim!"
"Kapan tuntutan harus dipenuhi? Sekarang juga!"
Suara gadis yang masih kelihatan seperti bocah itu melengking, disambut dengan sahutan bersemangat peserta aksi Fridays for Future (dikenal juga di Swedia dengan gerakan Bolos Demi Iklim alias Skolstrejk för klimatet) Jumat (19/05).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Si gadis, Greta Thurnberg, hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong tipis di tengah suhu 11 derajat. Greta adalah motor aksi sejak 2018, jadi juru kampanye yang sangat dihormati sekaligus jadi sasaran kebencian kelompok penolak iklim, sejak usianya masih 14 tahun.
Pada tiap agenda dunia yang menghadirkannya sebagai pembicara, Greta selalu memberi kritik pedas pada politisi dan pelaku industri yang dianggap mengabaikan bumi dari serangan krisis iklim demi uang.
Tetapi untuk peran yang begitu sangar dan berwibawa, dalam kenyataannya Greta tampak kikuk dan pemalu. Dia menghindari sorotan kamera, memilih bersembunyi dalam kerumunan teman-temannya sesama juru kampanye iklim yang Jumat pagi itu turut hadir.
"Please no more picture (tolong jangan ambil fotoku lagi)," pintanya pelan saat kami mendekatinya. Greta pun membalik badan dan melipir mendekati rombongan teman-temannya.
Fridays for Future (FfF) yang mulanya diinisiasi Greta dengan aksi demo solo di depan Parlemen Swedia tiap hari Jumat, kini sudah menjadi gerakan menuntut keadilan iklim terbesar di dunia. Agenda tetap di depan Parlemen Swedia sudah berlangsung 249 kali. Simpulnya ada di 750 kota, termasuk di Jakarta.
Isabelle Axelsson sudah turut serta sejak awal. Mahasiswi jurusan disain di Stockholm ini adalah salah satu motor FfF. Kacamata hitam ungu gonjrengnya membuat sosoknya menonjol.
"Saya tidak ikut aksi kalau terpaksa saja, misalnya sakit. Tapi selalu mengusahakan supaya bisa hadir," kata Axelsson. Aksi tetap dilangsungkan dalam suasana musim salju sekalipun, tidak peduli seberapa bekunya Stockholm.
"Pernah kejadian suhunya minus 12 derajat. Biasa saja tuh, tetap demo juga," tambahnya sambil tertawa.
Mesti termasuk tokoh utama, Axelsson yang berusia 21 tahun tidak punya peran struktural resmi dalam FfF. Begitu juga pegiat lainnya, bahkan Greta sendiri. Kelompok ini rapat seminggu sekali untuk menentukan arah kegiatan mereka.
"Kami bukan organisasi resmi. Anak-anak muda yang memang peduli saja. Tidak ada tuntutan harus begini, atau begitu," kata Matilde Verrata, salah seorang pegiat lain.
"Prinsipnya lakukan apa saja yang bisa dilakukan. Bisa datang tiap minggu, bagus. Bisa datang sesekali, silakan. Tidak ada kewajiban."
Verrata, 23 tahun, bahkan bukan warga asli Swedia. Lahir dan besar di Parma, Italia, ia memutuskan kuliah jurusan Bahasa Swedia dan kemudian berimigrasi ke Stockholm. Sejak 2021, ia berkarir sebagai asisten guru TK. Verrata sudah aktif dalam kampanye FfF sejak masih di negara asalnya.
Tanpa struktur resmi, bagaimana mengatur supaya tidak terjadi perselisihan sementara pegiat utama adalah anak-anak muda yang kerap dikaitkan dengan perilaku emosional dan moody?
Verrata tertawa.
"Pada dasarnya sih kami saling dukung saja. Kita saling berusaha memahami, apa kebutuhan masing-masing anggota. Tidak ada kontrak, tidak ada ikatan. You can just show up (kamu bisa datang begitu saja)," tambahnya santai.
FfF kemudian menginspirasi banyak kalangan lain untuk turut serta. Selain kelompok sesama anak muda, muncul juga misalnya University Strike for Climate (Bolos Kuliah Demi Iklim), gerakan yang diinisiasi dosen dan civitas akademika.
Tuntutan utamanya adalah agar para pemimpin pemerintahan dan industri segera mengambil kebijakan darurat untuk menyelamatkan bumi. Lembaga PBB untuk anak Unicef, misalnya, didesak melepas kemitraan dengan Formula 1, ajang balapan yang dianggap sebagai sarana mendewakan BBM.
Juga Bank Standard Chartered yang dianggap bandel terus-terusan mendanai operasi tambang dan bisnis pendukung eksploitasi BBM fosil.