Dosen politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Adi Prayitno juga berpandangan sama. Ia menilai campur tangan Jokowi bisa berpotensi memicu institusi seperti militer dan polisi jadi tidak netral.
Cawe-cawe Jokowi belakangan memang menjadi sorotan setelah sang Presiden mulai 'aktif' bertemu dengan para pemimpin partai dan melontarkan komentar mengenai capres idealnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada November lalu, Jokowi sempat menyatakan bahwa presiden yang ideal yaitu yang rambutnya putih. Saat itu banyak yang menafsirkan sinyal Jokowi mengarah kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Pada kesempatan lainnya, yang juga di bulan November, Jokowi mengatakan bahwa 2024 akan menjadi tahunnya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Pada Maret, Jokowi bahkan mengunjungi sawah di Jateng bersama keduanya, yang dinilai sejumlah orang sebagai tanda bahwa ia mendukung mereka.
Sementara itu, satu capres lainnya yang sudah diusung sejauh ini ialah eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Jokowi hingga kini belum memberikan indikasi bahwa dia mendukung Anies.
Pada 2 Mei, Jokowi bertemu dengan enam ketum partai politik hingga menimbulkan pertanyaan soal apakah mereka sedang menyusun strategi untuk pemilihan mendatang.
Jokowi pun menepis kekhawatiran itu dengan mengatakan pada 5 Mei bahwa mereka hanya berdiskusi.
Namun, pada 29 Mei, dalam sebuah pertemuan dengan beberapa pemimpin redaksi media, Jokowi mengakui bahwa ia ingin cawe-cawe dalam pilpres ini.
"Mencampuri negara, untuk kepentingan nasional. Saya memutuskan untuk ikut campur dalam arti positif. Mengapa saya tidak bisa? Tidak bisakah saya berpolitik? Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Untuk negara ini, saya bisa ikut campur," kata Jokowi.
(blq/bac)