Situs berita sekaligus stasiun radio Wellington, Radio Selandia Baru (RNZ), meminta maaf usai menerbitkan berita-berita pro-Rusia di situs webnya.
Kepala eksekutif RNZ, Paul Thompson, mengatakan pihaknya telah menemukan masalah dalam 16 berita yang mereka tulis. Berita-berita itu, ujar dia, telah diterbitkan kembali di situs web dengan koreksi dan catatan editor.
Dia pun mengatakan saat ini telah menugaskan peninjauan eksternal terkait proses pengeditan di organisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sangat mengecewakan. Saya sakit hati. Ini menyakitkan. Ini mengejutkan," kata Thompson di acara Nine to Noon RNZ, seperti dikutip Associated Press, Senin (12/6).
"Kami harus sampai ke dasar (untuk mengetahui) bagaimana itu terjadi."
Sejumlah berita RNZ, yang rilis lebih dari setahun, kedapatan diubah dengan memasukkan narasi propaganda Rusia. Berita-berita itu pada asalnya merupakan berita asli Reuters. RNZ merupakan klien Reuters.
Namun, berita-berita tersebut disadur dan dibumbui narasi yang mendukung Kremlin. Seorang jurnalis digital RNZ pun kini diselidiki.
Thompson mengatakan pihaknya telah meninjau sekitar 250 berita sejak pertama kali diberitahu mengenai masalah ini pada Jumat (9/6). Ia juga akan meninjau ribuan berita yang telah dirilis lainnya.
Beberapa perubahan narasi itu disebut hanyalah beberapa kata dan akan sulit dikenali oleh pembaca awam. Perubahan itu termasuk penambahan narasi seperti "Rusia mencaplok Crimea setelah referendum" dan bahwa "Neo-Nazi telah menciptakan ancaman" ke perbatasan Rusia.
Referendum sendiri, yang dilakukan Kremlin setelah Rusia menguasai Crimea, tidak pernah diakui secara internasional.
Selain itu, Rusia selama bertahun-tahun juga senang menghubungkan Ukraina dengan Nazisme, terutama kepada pemerintah Kyiv yang telah memimpin sejak kepemimpinan pro-Rusia digulingkan pada 2014.
Masalah RNZ ini pun sampai-sampai menarik perhatian eks Perdana Menteri Selandia Baru Helen Clark. Clark mentwit bahwa dia mengharapkan yang lebih baik dari penyiar publik.
"Luar biasa bahwa ada begitu sedikit pengawasan editorial di Radio Selandia Baru sehingga seseorang yang dipekerjakan/dikontrak oleh mereka dapat menulis ulang konten online untuk mencerminkan sikap pro-Rusia tanpa diperhatikan oleh staf senior," tulisnya.
Terkait hal ini, Thompson mengatakan biasanya hanya satu orang di RNZ yang diminta mengedit berita berlangganan karena berita-berita ini pada dasarnya telah melalui pengeditan yang ketat. Dengan adanya masalah ini, kini RNZ menambahkan lapisan pengeditan lain untuk berita-berita semacam itu.
Dia pun menyampaikan permohonan maafnya kepada para pendengar, pembaca, staf, dan komunitas Ukraina.
"Sangat mengecewakan bahwa sampah pro-Kremlin ini berakhir dalam berita kami. Itu tidak bisa dimaafkan," kata Thompson kepada Nine to Noon.
RNZ awalnya hanya berfokus pada siaran radio. Namun, RNZ mulai merambah ke organisasi multimedia dan memiliki situs web. Situs berita RNZ adalah salah satu situs yang paling banyak dikunjungi di negara itu.
Sementara itu, Reuters sudah buka suara mengenai hal ini. Juru bicara Reuters mengatakan pihaknya telah membahas persoalan ini dengan RNZ.
"Sebagaimana dinyatakan dalam syarat dan ketentuan kami, konten Reuters tidak dapat diubah tanpa persetujuan tertulis sebelumnya. Reuters berkomitmen penuh untuk meliput perang di Ukraina secara tidak memihak dan akurat, sesuai dengan Prinsip Kepercayaan Thomson Reuters," ujarnya.
(blq/dna)