Lee yakin pihak berwenang sebetulnya tahu bahwa puluhan ribu orang yang tinggal di dekat situs terus-menerus terkena radiasi.
"Mengapa mereka tidak tahu? Pemerintah dengan sengaja mengabaikan orang-orang. Negara macam apa itu?" tukas dia.
Pembelot lain dengan nama samaran Kim Hwa-young juga mengaku menderita sakit kepala yang sangat parah selama tinggal di Kilju. Bahkan, obat-obatan tak ada yang mempan mengobati nyeri hebat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski sudah sesakit itu, dia tak didiagnosis apapun oleh pihak rumah sakit setempat.
"Tidak ada diagnosis bahkan jika saya pergi ke rumah sakit," kata Kim.
Setelah memeriksa di Korsel, Kim didiagnosis memiliki jumlah sel darah putih yang rendah, sama seperti mereka yang melarikan diri bersamanya. Dia menderita hepatitis C.
Penyakit yang diidapnya termasuk belum begitu parah jika dibandingkan dengan warga lain yang tinggal di kawasan itu. Beberapa kenalannya ada yang menderita leukopenia lalu meninggal dunia. Ada pula yang kanker dan TBC di saat yang bersamaan.
"Tetangga sebelah saya, gusinya berdarah dan dia meninggal. Tubuh anak usia 4 tahun yang malang ini memar di seolah dicubit," ujarnya.
"Dia kemudian didiagnosis leukopenia dan meninggal. Gusinya tidak berhenti berdarah meskipun sudah diberikan semua jenis obat."
Kim percaya bahwa dirinya terkena radiasi lewat air minum. Sebab air di Kilju betul-betul merupakan sumber air dalam hidupnya.
"Semua air keran berasal dari (situs) Punggye-ri," kata perempuan yang melarikan diri dari Korut pada 2014 itu.
Lee juga merasakan hal yang sama dengan Kim setelah mengingatnya kembali. Lee berujar aliran air, khususnya Namdae, mulai berubah setelah uji coba nuklir dilakukan.
"Aliran Namdae dulunya bersih dan bagus. Ikan trout yang hidup di sungai juga bagus," kata Lee.
"Mereka dikirim sebagai produk khusus yang disediakan untuk (mantan pemimpin) Kim Il Sung, tapi pada satu waktu, tidak ada ikan trout yang terlihat di aliran itu. Jamur pinus juga berhenti tumbuh disana," lanjut dia.
(blq/bac)