Parlemen Israel Adopsi RUU Rombak Sistem Peradilan Meski Didemo Warga
Parlemen Israel mengadopsi Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial untuk merombak sistem peradilan, dalam pembacaan pertama pada Senin (10/7).
Perubahan yang diusulkan oleh pemerintah sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu itu memicu unjuk rasa besar-besaran di Tel Aviv, sejak diumumkan pada Januari 2023.
Setelah menggelar sesi parlemen, RUU tersebut diadopsi dengan total dukungan 64 dibandingkan 56 suara.
Pemungutan suara ini menjadi pembacaan pertama terkait rancangan undang-undang yang bertujuan untuk mengecilkan hak Mahkamah Agung, untuk memutuskan "kewajaran" dalam keputusan pemerintah.
Salah satu efek potensial dari RUU ini adalah pada penunjukan menteri.
Dilansir dari Times of Israel, rancangan itu harus melewati dua sesi pembacaan dan pemungutan suara di parlemen, sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Diperkirakan koalisi Netanyahu akan mendesak penyelesaian proses pengesahan RUU, sebelum masa reses pada akhir Juli ini.
Meski diklaim akan menjadi bentuk batasan dalam pengawasan yudisial, RUU ini nantinya akan sepenuhnya melarang pengadilan untuk membatalkan atau bahkan mendiskusikan keputusan yang dibuat oleh kabinet, menteri, maupun pejabat terpilih lainnya.
Kubu pro menilai RUU ini akan memungkinkan perwakilan terpilih, memiliki hak keputusan akhir terkait kebijakan dan penunjukan.
Sebaliknya kubu kontra berpendapat RUU ini terancam akan menghapus fungsi pemeriksaan yang justru penting dilakukan, demi menghindari pengambilan keputusan yang sewenang-wenang.
Para kritikus juga menilai uji kewajaran berfungsi untuk memastikan independensi para "penjaga gerbang" yudisial, dengan melindungi para pejabat dari pemecatan yang semata bermotif politik.
Januari lalu, PM Netanyahu "dipaksa" untuk memberhentikan anggota kabinet Aryeh Deri dari partai Yahudi ultra-ortodoks Shas, setelah intervensi Mahkamah Agung atas dasar "kewajaran" yang meyakini Deri terlibat dalam penggelapan pajak.