Kenapa Bom Klaster AS buat Ukraina Bombardir Rusia Terlarang?
Amerika Serikat akan memasok amunisi berupa bom klaster ke Ukraina, sebagai bagian dari paket bantuan militer terbaru.
Rencana pemerintah Presiden Joe Biden mengirim bom klaster mendapat kritikan, karena amunisi ini dianggap sebagai senjata kontroversial.
Dilansir CNN, bom klaster atau yang disebut juga bom tandan adalah bom berupa tabung yang berisi puluhan hingga ratusan bom kecil atau submunisi.
Tabung ini bisa dijatuhkan dari pesawat terbang, diluncurkan dari rudal atau ditembakkan dari artileri, senjata angkatan laut maupun peluncur roket.
Bom klaster bisa meledak pada ketinggian yang ditentukan, tergantung pada area target yang dituju, dan bom di dalamnya akan tersebar di area itu.
Submunisi ini diatur dengan pengatur waktu untuk meledak lebih dekat ke atau di tanah, yang akan menyebabkan pecahan peluru untuk membunuh pasukan hingga menghancurkan kendaraan lapis baja seperti tank.
Amerika Serikat memiliki persediaan bom klaster yang dikenal sebagai DPICM. Menurut informasi, DPICM yang akan dikirim AS ke Ukraina bisa ditembakkan dari Howitzer 155, dengan masing-masing tabung mampu membawa 88 bom.
Setiap bom memiliki jangkauan yang mematikan sekitar 10 meter persegi, sehingga satu tabung dapat mengjangkau area hingga 30 ribu meter persegi, atau tergantung pada ketinggian yang digunakan untuk melepaskan bom.
Menurut artikel di situs web eArmot Angkatan Darat AS, bom-bom DPICM memiliki bentuk muatan yang menciptakan "jet logam", yang mampu untuk melubangi lapis baja logam pada tank.
Lantas apa yang menyebabkan bom klaster disebut sebagai senjata kontroversial?
Hal ini lantaran ketika bom dijatuhkan di area yang luas, dampak ledakannya bisa ikut membahayakan orang-orang di luar target serangan atau non-kombatan.
Selain itu menurut Komite Palang Merah Internasional, antara 10 hingga 40 persen amunisi itu gagal diledakkan. Bom klaster yang tidak meledak baru diledakkan oleh pihak sipil, bertahun-tahun atau bahkan beberapa dekade kemudian.
Kelompok aktivits The Cluster Munition Coalition memberi contoh seperti submunisi yang masih terbengkalai di Laos dan Vietnam, bahkan 50 tahun setelah digunakan.
Pejabat Kementerian Pertahanan AS telah memastikan bahwa amunisi yang dikirim Washington ke Ukraina, memiliki "tingkat tak berguna" hanya 2,35 persen atau lebih rendah, berdasarkan pengujian tembak pada 2020 lalu.
Namun kritikus masih mempertanyakan proses pengujian itu, termasuk apakah dilakukan dalam kondisi ideal, atau dalam kondisi cuaca dan medan yang berbeda yang dapat memengaruhi reaksi amunisi.
(dna)