Sementara itu, temannya, yang tak ingin disebutkan identitasnya, mengatakan perubahan hukum bukanlah hal yang perlu dilakukan. Dia justru menilai perubahan regulasi cuma akan menimbulkan ancaman bagi demokrasi.
"Fasis adalah fasis. Anda tidak bisa menunggu mereka untuk berubah. Demokrat Swedia dan pemerintah minoritas ini mendorong agendanya. Kami bahkan tidak disuarakan," ucap dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Membakar Al Quran dan kemudian mereka menyebut Islamofobia itu buruk tapi mereka sendiri tak punya rencana untuk menghentikan Islamofobia," lanjut dia.
Berbeda dengan sebelumnya, seorang pemandu wisata berusia 39 tahun, Tal Domankewitz, menilai harus ada batasan terhadap undang-undang kebebasan berekspresi Swedia.
"Ada beberapa kasus di mana Anda harus berpikir kembali dan tidak membiarkannya terjadi. Undang-undang itu harus dibatasi," katanya.
Abdi Ibrahim (44) mengatakan pembakaran Al Quran semacam ini merusak reputasi Swedia di dunia. Dia meyakini mayoritas orang punya persepsi yang sama "bahwa kebebasan berekspresi itu baik tapi tidak boleh menyakiti orang lain."
"Anda bisa mengekspresikan pandangan Anda dengan cara lain," tutur Ibrahim.
Lebih jauh, Iman Omer (20), mengatakan seharusnya pembakaran Al Quran diklasifikasikan sebagai kejahatan rasial oleh pemerintah. Dia menilai sebebas-bebasnya suatu negara, tetap harus ada batasan di dalamnya.
"Sangat disayangkan bahwa itu telah terjadi berkali-kali dan Swedia tampaknya tidak belajar dari kesalahan," pungkas dia.
(isa/bac)