China lagi-lagi membuat sejumlah negara tetangga naik pitam usai merilis standar peta baru pekan lalu.
Peta itu menggambarkan wilayah teritorial Negeri Tirai Bambu dengan perbatasan yang bersinggungan bahkan mencakup wilayah yang disengketakan dengan negara lain hingga membuat geram India, Malaysia, Filipina, hingga Taiwan.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam peta itu, China menggambar perbatasannya hingga mencakup wilayah Arunachal Pradesh di Himalaya timur, yang Beijing klaim sebagai bagian dari Tibet selatan.
Sementara itu, Aksai Chin merupakan dataran tinggi di Himalaya Barat yang disengketakan China dan India. Wilayah ini diklaim India tetapi dikuasai oleh China
Selain itu, peta terbaru China juga mencakup klaim sepihaknya di Laut China Selatan. Peta baru itu memperlihatkan perbatasan maritim China hingga ke bagian wilayah zona eksklusif ekonomi (ZEE) Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, dan Vietnam.
Peta baru ini langsung memicu protes keras dari India, Malaysia, hingga Filipina. Sementara itu, Indonesia juga telah meminta penjelasan Beijing soal peta ini meski selama ini mengaku tidak memiliki sengketa maritim dengan China di Laut China Selatan.
Sebab, peta baru ini juga menggambarkan perbatasan China yang makin bersinggungan dengan ZEE Indonesia di Natuna.
Analis politik dari Universitas Tasmania, Profesor James Chin, mengatakan perilisan peta baru ini dilakukan menjelang dua forum bergengsi internasional yakni Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta pada 5-7 September dan KTT G20 di India pada 9-10 September.
Menurut Chin, peta ini dirilis demi memperkuat legitimasi China atas klaim sepihaknya terhadap wilayah-wilayah sengketa tersebut, tak peduli meski komunitas internasional dan mahkamah arbitrase internasional mementahkan klaimnya ini.
"Momentum yang sangat penting. China ingin hal ini menjadi bahan pembicaraan di KTT dan ingin menunjukkan bahwa mereka (Beijing) konsisten dengan mengklaim wilayah-wilayah ini sebagai milik mereka," ucap Chin.
"Ini tipikal diplomasi China," paparnya menambahkan.
Sebelum merilis peta ini, China juga telah merilis peta yang mengganti nama 11 tempat di negara bagian Arunachal Pradesh, India, menjadi "Zangnan", atau Tibet selatan dalam bahasa Mandarin.
Belakangan, China juga makin getol menggelar latihan militer, mengirim kapal ikan sampai patroli, dan mencegat kapal dan pesawat asing yang mondar-mandir di Laut China Selatan.
China melakukan hal itu di Laut China Selatan demi memperlihatkan bahwa keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) pada 2016 "tidak punya arti apa-apa" dan Beijing kekeh mempertahankan klaim teritorialnya di perairan itu.
Pada 2016, mahkamah tersebut memutuskan klaim historis China soal sembilan garis putus-putus (nine dash line) di Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum.
"Dengan sejumlah pertemuan regional penting yang akan berlangsung, China tampaknya ingin memberikan tekanan sekali lagi kepada para peserta KTT dengan kembali ngangkat klaim teritorialnya," kata Direktur International and Security Affairs Program The Australian Institute, Allan Behm.
"Klaim (China) ini memang tidak membantu perundingan mengenai klaim (sengketa wilayah). Penegasan (China) ini juga tidak mempersulit negosiasi perselisihan dan perbedaan pendapat saat ini soal penyelesaian sengketa. Ini semua hanya agar membuat mereka (China) selalu diingat (diperhatikan)," paparnya menambahkan seperti dikutip Channel News Asia.
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) juga menilai peta baru China ini bukan barang baru yang dipakai pemerintahan Presiden Xi Jinping untuk menjaga klaimnya teritorialnya tetap jadi perhatian. Senior Advisor di IOJI, Andreas Aditya Salim, mengatakan selama ini peta-peta yang dikeluarkan China tidak pernah sesuai standarisasi internasional, bahkan tak memiliki titik koordinat yang jelas.
Sebagai contoh, Andreas mengatakan China sudah beberapa kali merilis peta perbatasannya di Laut China Selatan mulai dari eleven dash line hingga saat ini nine dash line. Sejauh ini, menurutnya, baru Amerika Serikat yang mencoba menganalisis peta-peta China selama ini dan semuanya memiliki titik koordinat yang berbeda-beda.
"So, it's just a piece of art, it means nothing in international law atau international relations. Jadi ya kalau saya melihat tidak ada dampaknya. Ini tidak ada dampaknya, mungkin ini sekadar, timing atau strategi internasional pemerintah Chinauntuk meresponse dinamika di Taiwan," kata Andreas kepada CNNIndonesia.com pada Jumat (1/9).
'Agenda besar' China dan bom waktu bagi dunia, baca di halaman berikutnya >>>