Pengamat dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIC), Waffaa Kharisma, juga punya penilaian serupa. Ia memandang Indonesia dan Timor Leste karena terpaut sejarah, kedekatan geografis, budaya, hingga nilai yang sama.
"Sekarang jadi dua negara yang nilai dan prinsipnya sama, demokrasi dan pertumbuhan," kata Waffaa.
Bagi Indonesia yang menganut kebijakan bebas aktif, merangkul negara-negara tetangga menjadi salah satu prioritas, apalagi negara yang memiliki kesamaan nilai dan prinsip.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Lebih lanjut Waffaa menerangkan, langkah itu penting di tengah tantangan yang beragam dan meningkat terkait paradigma dan ide-ide kebijakan luar negeri Indonesia di kawasan.
"Buat saya, Indonesia secara prinsip semakin kesepian di kawasan. Ketika bicara demokrasi di ASEAN, terpentok rasa tidak enak dengan negara-negara lain yang merasa demokrasi itu produk Barat," ungkap dia.
Waffaa mengungkapkan saat bicara inklusivitas, RI terpentok negara-negara yang sedang saling ribut di Laut China Selatan (LCS), saat bicara pertumbuhan ada negara-negara besar yang bicara "tak semua growth itu baik." Dengan demikian, merangkul Timor Leste menjadi opsi menambah kekuatan RI saat bicara masalah regional.
Pengamat hubungan internasional lain dari Universitas Muhammadiyah Riau Fahmi Salsabilla punya pandangan berbeda. Ia menganggap hubungan Timor Leste dan Indonesia tak begitu harmonis.
"Tidak serta merta hubungan harmonis kepala negara mencerminkan hubungan yang sama dalam hubungan kedua negara. Apalagi setelah referendum," ungkap dia.
Lebih lanjut, Fahmi mengatakan pasca Timor Leste referendum dapat memicu wilayah lain untuk melepaskan diri, lalu muncul masalah perselisihan perbatasan, hingga soal ganti rugi pembangunan
Namun, Fahmi juga mengatakan citra baik yang selama ini ditampilkan harus dijaga, selama tak ada tidak ada konflik militer seperti Rusia dan Ukraina.
(isa/bac)