Ayah, ibu, dan Albohisi serta para kakaknya selama ini selalu saling menguatkan satu sama lain. Sekuat mungkin menjaga asa sepanjang bertubi-tubi menghadapi teror, diskriminasi, hingga genosida.
Dia mengklaim warga Gaza memahami jika mereka harus kehilangan suatu hal atau segala sesuatunya, maka itulah pengorbanan demi kemerdekaan atas tanah Palestina yang didambakan.
"Sejak tahun 1948 Palestina menghadapi segala macam teror genosida, diskriminasi bahkan di luar negeri, tapi kami tetap berdiri, kami tetap bangga dengan bangsa kami. Jadi saya bilang, jika itu (kehilangan anggota keluarga) terjadi, tapi saya harap itu tidak terjadi, saya rasa itu semua untuk Palestina," ujar Albohisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Albohisi bilang, masyarakat Palestina telah banyak melakukan pengorbanan sejak perang tahun 1948. Keluarga, tempat tinggal, nyawa, apa pun. Orang-orang di sana hanya percaya akan tiba waktunya giliran mereka.
Orang-orang Palestina bisa saja kabur mengevakuasi diri, kendati demikian kata Albohisi, sebagian besar tidak melakukannya dan memilih tetap bertahan sebelum mati di tanah kelahirannya sendiri.
"Kami ingin membangun negara yang damai. Kami pantas mendapatkannya. Jadi itulah yang kami lakukan. Tujuan utama kami adalah kami orang Palestina. Kami membutuhkan bangsa kami. Jika sekarang kami meninggalkan negara kami begitu saja, kami akan hidup sebagai tunawisma tanpa kewarganegaraan, tanpa identitas. Ini adalah tanah kami. Kami lahir di sana dan nenek moyang kami telah ada di sana selama ribuan tahun," imbuhnya.
Albohisi turut mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang telah memberikan dukungan atas kemerdekaan Palestina, bantuan-bantuan kemanusiaan, serta upaya-upaya menghentikan terjadinya pertumpahan darah lewat kancah internasional. Dia percaya masyarakat Palestina berhak mengakhiri penderitaaan ini dan menatap masa depan yang lebih baik.
"Ini tentang bangsa kami, ini tentang hak-hak kami, nenek moyang kami, kakek-nenek kita meninggal karena perang, mereka menolak meninggalkan Tanah Air sehingga kami akan terus melakukan hal yang sama," pungkas Albohisi.
Nyaris lima hari setelah militan Hamas menyerang Israel, jumlah korban tewas di kedua pihak telah mencapai lebih dari 2.300 orang.
Di Gaza, krisis kemanusiaan kian parah setelah Israel menutup semua akses bantuan bagi Palestina. Warga yang mengungsi kini mengalami krisis air bersih, listrik, hingga makanan.
Hamas mulai menyerang Israel pada Sabtu (7/10). Mereka mengklaim tujuan serangan ini untuk mengakhiri pendudukan terakhir di bumi. Pasukan Israel lalu membalas dengan melancarkan Operasi Pedang Besi yang diklaim untuk menargetkan infrastruktur Hamas di Jalur Gaza.
Serangan kedua pihak ini berlanjut dan perang bahkan makin meluas setelah Israel dan kelompok Hizbullah di Lebanon ikut saling serang. Israel bahkan beberapa kali turut melancarkan gempuran ke wilayah Suriah.
Kementerian Kesehatan Palestina per Rabu (11/10) malam mencatat setidaknya 1.100 orang tewas dan 5.339 orang lainnya terluka di Jalur Gaza, wilayah yang dikontrol Hamas dan menjadi target gempuran Israel.
Di Tepi Barat Palestina, setidaknya 27 orang meninggal dunia dan 150 orang lainnya terluka akibat gempuran Israel. Sementara itu, militer Israel melaporkan setidaknya 1.200 orang tewas di wilayahnya sejak gempuran Hamas berlangsung Sabtu akhir pekan lalu.
(bac)