Jakarta, CNN Indonesia --
Rumah sakit di Jalur Gaza Palestina semakin "tercekik", saat gelombang pasien datang bertubi-tubi, namun obat dan peralatan medis tak lagi memadai.
Nidal Abed (51), seorang ahli bedah ortopedi, mengatakan bahwa satu-satunya hal yang lebih buruk daripada jeritan pasien yang menjalani operasi tanpa anestesi yang cukup, yakni wajah-wajah pucat pasi mereka yang menunggu gilirannya masing-masing.
Dilansir dari Associated Press, Abed mengaku merawat pasiennya di mana pun dia bisa, baik itu di lantai, koridor, maupun kamar yang dipenuhi 10 pasien, bukan hanya dua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abed harus cukup puas dengan apa pun yang bisa dia temukan di tengah stok obat dan peralatan medis yang mulai habis: pakaian untuk perban, cuka untuk antiseptik, dan jarum jahit untuk bedah.
Perang antara milisi Hamas Palestina dengan militer Israel sejak 7 Oktober lalu memang sangat berdampak pada rumah sakit maupun fasilitas vital lainnya.
Rumah sakit kekurangan air bersih. Stok barang-barang dasar untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah infeksi sudah begitu terkuras.
Bahkan, bahan bakar untuk generator rumah sakit tak lagi tersisa. Banyak rumah sakit yang mau tak mau menggunakan senter saat melakukan operasi.
"Kami kekurangan segalanya dan kami berurusan dengan operasi yang sangat kompleks," kata Abed yang bekerja dengan Dokter Lintas Batas (Doctors Without Borders) kepada AP News dari Rumah Sakit Al Quds.
Rumah Sakit Al Quds merawat ratusan pasien yang bertentangan dari perintah evakuasi Israel pada Jumat (20/10). Pusat medis ini masih beroperasi di tengah gempuran pasukan Tel Aviv yang dekat dengan lokasi rumah sakit itu.
Sekitar 10.000 warga Palestina yang mengungsi akibat bom-bom ini pun berlindung di kompleks RS Al Quds.
"Orang-orang ini semuanya ketakutan, begitu pula saya. Tapi tidak mungkin kami mengungsi," ucapnya.
Berhari-hari sejak diberlakukan blokade total, bantuan makanan, air, serta obat-obatan pun akhirnya mulai memasuki Gaza pada Sabtu (21/10). Bantuan datang dari Rafah, perbatasan daerah kantong tersebut dengan Mesir.
Dari ratusan truk bantuan, hanya puluhan yang diizinkan masuk ke Gaza oleh pemerintah Israel. Truk berisi bahan bakar tidak diperbolehkan.
Para dokter dan tim relawan lantas mewanti-wanti bahwa bantuan-bantuan tersebut tak akan cukup untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang sudah sangat mengenaskan di Gaza.
"Ini mimpi buruk. Jika tidak ada bantuan yang masuk lebih banyak, saya khawatir kita akan sampai pada titik di mana pergi ke rumah sakit akan lebih berbahaya daripada sebaliknya," kata Mehdat Abbas, seorang pejabat di Kementerian Kesehatan Gaza.
Dengan stok dan bantuan yang sangat tipis ini, kecerdikan dokter dan perawat rumah sakit di seluruh Gaza pun diuji.
Lanjut di halaman berikutnya...
Abed menggunakan cuka rumahan di toko-toko sebagai disinfektan. Alternatif itu ia gunakan hingga tak sadar bahwa stok cuka di toko-toko Gaza habis. Ternyata, banyak dokter yang menggunakan jalan serupa dengan Abed.
Seolah tak kehabisan akal, Abed pun mengganti disinfektan alternatif dengan campuran garam dan air tercemar yang menetes dari keran. Ia tahu itu berisiko namun tak ada cara lagi untuk membuat disinfektan dengan kondisi yang ada.
Kurangnya peralatan medis mau tak mau memaksa staf memutar otak untuk mencari alternatif demi merawat pasien yang tiada henti.
Ada staf yang terpaksa menggunakan jarum jahit untuk menjahit luka, yang menurut Abed bisa merusak jaringan. Ada pula staf yang membungkus luka bakar besar dengan pakaian alih-alih perban, yang bisa menyebabkan infeksi.
Kekurangan implan ortopedi bahkan memaksa Abed menggunakan sekrup yang tidak sesuai dengan tulang pasiennya.
"Kami melakukan apa yang kami bisa untuk menstabilkan pasien, untuk mengendalikan situasi," kata Abed.
"Orang-orang sekarat karena ini."
Operasi dengan senter ponsel
Ketika Israel memutus bahan bakar ke satu-satunya pembangkit listrik di wilayah itu dua pekan lalu, generator-generator di Gaza pun bekerja keras untuk menjaga peralatan pendukung kehidupan tetap beroperasi di rumah sakit.
Pihak berwenang mati-matian mengumpulkan solar untuk membuat mereka tetap berjalan. Badan-badan PBB mendistribusikan sisa stok mereka. Para pengendara bahkan rela mengosongkan tangki bensin mereka.
[Gambas:Photo CNN]
Di beberapa rumah sakit, lampu bahkan sudah tak lagi menyala. Rumah Sakit Nasser di kota selatan Khan Younis, salah satunya.
Rumah sakit itu gelap gulita hingga memaksa perawat dan asisten bedah memegang ponsel masing-masing di atas meja operasi, membimbing ahli bedah dengan senter seadanya kala mereka mencoba menyelamatkan nyawa.
Di Rumah Sakit Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza, unit perawatan intensif menggunakan generator, namun sebagian besar bangsal lain tanpa listrik.
Bukan cuma itu, orang-orang yang terluka imbas serangan udara bahkan tak bisa mendapatkan tempat tidur.
"Bahkan rumah sakit normal dengan peralatan mumpuni tak akan mampu menangani apa yang kami hadapi," kata Abed.
"Pasti akan kolaps."
Para dokter dan perawat pun tak cuma dihadapkan oleh krisis obat dan peralatan medis. Mereka juga harus melihat pemandangan bayi-bayi yang tiba di rumah sakit sendirian untuk perawatan intensif, tanpa orang tua maupun keluarga. Keluarga bayi-bayi tak berdosa tersebut tidak selamat karena serangan udara.
Trauma hingga mati rasa seakan tak cukup dirasakan Abed dan perawat lain. Di situasi ini, mereka harus tetap 'waras' untuk memilih pasien mana yang harus diprioritaskan.
"Anda harus memutuskan. Karena Anda tahu bahwa banyak yang tidak akan selamat," tutur dia.
[Gambas:Infografis CNN]