Abed menggunakan cuka rumahan di toko-toko sebagai disinfektan. Alternatif itu ia gunakan hingga tak sadar bahwa stok cuka di toko-toko Gaza habis. Ternyata, banyak dokter yang menggunakan jalan serupa dengan Abed.
Seolah tak kehabisan akal, Abed pun mengganti disinfektan alternatif dengan campuran garam dan air tercemar yang menetes dari keran. Ia tahu itu berisiko namun tak ada cara lagi untuk membuat disinfektan dengan kondisi yang ada.
Kurangnya peralatan medis mau tak mau memaksa staf memutar otak untuk mencari alternatif demi merawat pasien yang tiada henti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada staf yang terpaksa menggunakan jarum jahit untuk menjahit luka, yang menurut Abed bisa merusak jaringan. Ada pula staf yang membungkus luka bakar besar dengan pakaian alih-alih perban, yang bisa menyebabkan infeksi.
Kekurangan implan ortopedi bahkan memaksa Abed menggunakan sekrup yang tidak sesuai dengan tulang pasiennya.
"Kami melakukan apa yang kami bisa untuk menstabilkan pasien, untuk mengendalikan situasi," kata Abed.
"Orang-orang sekarat karena ini."
Ketika Israel memutus bahan bakar ke satu-satunya pembangkit listrik di wilayah itu dua pekan lalu, generator-generator di Gaza pun bekerja keras untuk menjaga peralatan pendukung kehidupan tetap beroperasi di rumah sakit.
Pihak berwenang mati-matian mengumpulkan solar untuk membuat mereka tetap berjalan. Badan-badan PBB mendistribusikan sisa stok mereka. Para pengendara bahkan rela mengosongkan tangki bensin mereka.
Di beberapa rumah sakit, lampu bahkan sudah tak lagi menyala. Rumah Sakit Nasser di kota selatan Khan Younis, salah satunya.
Rumah sakit itu gelap gulita hingga memaksa perawat dan asisten bedah memegang ponsel masing-masing di atas meja operasi, membimbing ahli bedah dengan senter seadanya kala mereka mencoba menyelamatkan nyawa.
Di Rumah Sakit Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza, unit perawatan intensif menggunakan generator, namun sebagian besar bangsal lain tanpa listrik.
Bukan cuma itu, orang-orang yang terluka imbas serangan udara bahkan tak bisa mendapatkan tempat tidur.
"Bahkan rumah sakit normal dengan peralatan mumpuni tak akan mampu menangani apa yang kami hadapi," kata Abed.
"Pasti akan kolaps."
Para dokter dan perawat pun tak cuma dihadapkan oleh krisis obat dan peralatan medis. Mereka juga harus melihat pemandangan bayi-bayi yang tiba di rumah sakit sendirian untuk perawatan intensif, tanpa orang tua maupun keluarga. Keluarga bayi-bayi tak berdosa tersebut tidak selamat karena serangan udara.
Trauma hingga mati rasa seakan tak cukup dirasakan Abed dan perawat lain. Di situasi ini, mereka harus tetap 'waras' untuk memilih pasien mana yang harus diprioritaskan.
"Anda harus memutuskan. Karena Anda tahu bahwa banyak yang tidak akan selamat," tutur dia.