Pada 2014, sebuah perang sipil pun pecah di Yaman. Perang tersebut melibatkan dua pihak yakni Houthi dengan Pemerintah Yaman yang saat itu bekerja sama dengan AS.
Abdul Malik yang saat itu memimpin Houthi mengklaim bahwa penguasaan Houthi terhadap Yaman menjadi sebuah langkah "kemenangan" bagi rakyat Yaman.
Situs lembaga think-tank Wilson center melaporkan bahwa Kementrian Keuangan AS sempat menjatuhkan sanksi kepadanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Abdul Malik terlibat dalam tindakan yang) mengancam perdamaian, keamanan, atau stabilitas Yaman," ujar Kemkeu AS seperti yang dikutip dari situs tersebut.
Namun, kepiawaiannya dalam gerakan milisi tersebut dapat terlihat jelas dari bagaimana ia menguasai politik Yaman hingga mengklaim simpati masyarakatnya.
Dirinya pun sempat muncul di kanal Al Jazeera setelah menghadapi tudingan atas dirinya yang terbunuh atas serangan udara pada 2009.
"Rezim membuat pernyataan ini untuk membenarkan pembantaian dan penargetan warga sipil, di antaranya perempuan dan anak-anak," ujarnya seperti yang dikutip dari Middle East Eye.
Saat ini ia merupakan orang yang paling berkuasa di Yaman. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia memimpin pemberontakan yang telah mengguncang pemerintah Yaman hingga ke akar-akarnya.
Terlebih, saat ini kelompok Houthi yang menguasai sebagian besar Yaman telah menyerang kapal-kapal laut di Laut merah sejak November 2023. Sontak, hal tersebut memicu perhatian para pemimpin negara Barat khusunya AS dan Inggris.
"Mereka mampu bertahan selama delapan tahun terakhir, memperluas kekuatan mereka, namun kini mereka mengundang serangan udara dari militer paling kuat di dunia," ujar Tobbias Borck, seorang peneliti senior Keamanan Timur Tengah di Royal United Services Institute seperti dikutip oleh reuters.
Hingga kini, mereka mengklaim hal ini sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza.
(val/bac)