Bara AS-China di Laut China Selatan dan Urgensi RI Jaga Kedaulatan
Laut China Selatan (LCS) memanas saat China menggelar 'simulasi perang' di dekat Taiwan pada pekan lalu.
Latihan tersebut berlangsung tak lama setelah Taiwan memiliki presiden baru.
Selama ini, Taiwan gigih ingin memerdekakan diri dan Beijing menegaskan akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan pulau itu.
Amerika Serikat (AS), yang merupakan rival China, menunjukkan tanda-tanda mereka mendukung Taiwan.
AS maupun China juga kerap memicu provokasi di LCS dengan manuver-manuver mereka.
Jika permusuhan terus berlanjut dan kian runcing maka akan berpotensi memicu konflik bersenjata.
Potensi konflik bersenjata itu bisa mengancam kelancaran rantai pasok pangan hingga perdagangan yang melewati arus lintas laut Indonesia seperti Selat Malaka dan Laut Natuna Utara.
Lalu, bagaimana sikap Indonesia di bawah pimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto menghadapi ancaman tersebut terhadap kedaulatan RI?
Dalam visi misi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming saat kampanye, mereka menyatakan akan meningkatkan smart diplomacy (diplomasi cerdas).
Peneliti Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang fokus di kebijakan luar negeri Waffaa Kharisma mengatakan istilah "smart" biasanya mengacu ke penggunaan instrumen politik luar negeri dan membangun kekuatan dengan cara yang efisien berdasarkan ancaman dan kesempatan.
Dalam rekam jejak penggunaan istilah smart, lanjut dia, biasanya dipakai karena kapasitas terbatas.
"Makanya harus pintar menavigasi, harus efisien dengan sumber daya terbatas," ujar Waffaa saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (27/5).
Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Sya'roni Rofii punya penilaian berbeda soal diplomasi cerdas.
"Smart diplomacy menggabungkan antara kekuatan diplomasi di satu sisi sambil tetap menempuh jalur militer, seperti yang selama ini dilakukan AS," kata Sya'roni.
Di bidang militer, menurut Sya'roni salah satu yang bisa ditempuh adalah meningkatkan latihan bersama Indonesia-China dan Indonesia-AS dengan jumlah yang seimbang.
Selama ini, jumlah latihan militer RI dengan China lebih sedikit dibanding dengan Indonesia-AS.
Menurut situs lembaga think-tank International Institute for Strategic Studies (IISS), sepanjang 2003-2022, Indonesia hanya mengadakan empat latihan militer gabungan dengan China. Sebaliknya, Indonesia memiliki lebih dari 100 latihan dengan AS di periode yang sama.
Jumlah personel militer Indonesia yang berlatih di China juga berbeda dengan AS.
Selama 1967-2013, hanya sekitar 100 personel militer Indonesia yang dilatih di China. Sementara itu, lebih dari 7.300 pelajar RI telah mengikuti 200 program pendidikan dan pelatihan militer di AS selama dua dekade terakhir.
Namun, Prabowo dengan kapasitas sebagai Menteri Pertahanan telah berkomitmen untuk memperkuat kerja sama di bidang pertahanan dan militer dengan China.
"Dan terus mempromosikan perkembangan hubungan antara angkatan bersenjata kedua negara," kata Prabowo saat berkunjung ke China pada awal April.
Saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Prabowo juga menyampaikan ingin memperkuat kerja sama pendidikan dan latihan, latihan bersama, hingga industri pertahanan.
Bersambung ke halaman berikutnya...