Xi Jinping Jegal Para Loyalis Sendiri di Militer China, Ada Apa?
Presiden Xi Jinping selama beberapa waktu terakhir gencar memerangi korupsi di tubuh militer China.
Dalam 10 tahun, ia menjatuhkan para jenderal kuat dari faksi-faksi rival dan menggantinya dengan sekutu serta anak didiknya yang setia.
Kendati begitu, upaya ini berubah belakangan. Xi Jinping kini mulai menjegal loyalisnya sendiri, termasuk orang yang begitu dia percaya sejak awal memimpin China.
Dilansir dari CNN, Xi Jinping akhir bulan lalu mendepak Laksamana Miao Hua, kepala departemen politik di Komisi Militer Pusat (Central Military Commission/CMC) selaku badan komando tertinggi yang dipimpin oleh Xi.
Orang terdekat yang telah mengabdi puluhan tahun dan dipercayakan Xi untuk menanamkan loyalitas politik di Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) itu kini termasuk di antara orang-orang yang diperangi sang Presiden.
Dalam pernyataannya, Kementerian Pertahanan menyebut Miao diskors karena sedang diselidiki atas "pelanggaran kedisiplinan yang serius", sebuah frasa yang umum dipakai guna merujuk pada korupsi dan ketidaksetiaan.
Miao adalah pejabat militer paling senior yang terseret aksi bersih-bersih Xi Jinping. Berakhirnya karier dia di militer memicu banyak spekulasi karena dia merupakan orang terdekat Xi yang punya hubungan panjang dengan sang Presiden.
Sejumlah ahli pun menilai aksi Xi menjegal loyalisnya sendiri tak lain karena ia diselimuti rasa tidak aman, hal yang kerap mencengkeram seseorang jika memegang kekuasaan.
Joel Wuthnow, peneliti senior di Universitas Pertahanan Nasional yang didanai Pentagon, mengatakan Xi Jinping kemungkinan telah kehilangan kepercayaan diri karena melihat Miao berkembang menjadi begitu kuat dan mandiri.
Sebagai kepala komisaris politik PLA, Miao bertugas memastikan kesetiaannya kepada Partai Komunis. Dia mengawasi promosi di lingkup militer, dengan memeriksa kandidat kunci untuk loyalis politik mereka.
Di masa lalu, peran ini menjadi lahan subur bagi korupsi, terutama suap untuk mendapatkan promosi. Pendahulu Miao, Jenderal Zhang Yang, bunuh diri saat diselidiki buntut kasus suap.
"Saya rasa ini bukan sikap para pemimpin yang percaya diri akan kekuatan dan kemampuan mereka mengendalikan birokrasi. Saya benar-benar terkejut karena ini tanda kelemahan, jika bukan paranoia, bahwa dia (Xi Jinping) merasa perlu untuk terus-menerus mengacaukan keadaan," ucap Wuthnow.
Victor Shih, seorang profesor ilmu politik di University of San Diego, juga memandang bahwa tindakan Xi memburu Miao karena ia tak ingin ada 'cahaya' baru selain dia.
"(Mungkin ada alasan potensial lain di balik kejatuhan Miao, karena) terlalu jelas bahwa dia berupaya menumbuhkan faksi di militer," ucap Shih.
Xi selama ini telah memperingatkan bahwa tak boleh ada faksi di partai maupun militer.
"Tentu saja, satu-satunya orang yang diizinkan melakukan itu adalah Xi sendiri," ucap Shih.
Kejatuhan Miao ini sendiri terjadi kurang dari setahun setelah eks Menteri Pertahanan Li Shangfu didepak dari CMC.
CMC memiliki enam anggota, di mana seluruhnya merupakan loyalis Xi Jinping. Jika Miao berakhir dicopot, maka anggota CMC akan tersisa empat orang.
Menurut Shih, fenomena semacam ini sangat umum dijumpai di antara para diktator dunia, seperti misalnya diktator Uni Soviet Joseph Stalin hingga pendiri China Mao Zedong. Mereka juga berakhir melawan anak didiknya sendiri seperti Xi.
"Begitu semua pesaing yang sebenarnya pergi, seorang diktator tidak akan pernah bisa merasa bahwa seluruh ancaman sudah hilang dan ia bisa tenang. Sebaliknya, mereka justru selalu berpikir bahwa ancaman baru bisa muncul, termasuk dari orang-orang yang dulunya sangat dekat dengan mereka. Ini terjadi berulang kali," kata Shih.
Xi Jinping saat ini tampaknya sangat bertekad memerangi korupsi dan ketidaksetiaan di lingkungan sekitarnya.
Awal bulan ini, Xi memeriksa Pasukan Dukungan Informasi PLA dengan empat loyalis yang tersisa di CMC.
"Kita harus memastikan pasukan tetap benar-benar setia, benar-benar murni, dan benar-benar dapat diandalkan," kata Xi di hadapan para perwira.
(isa/bac)