Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
ICC menuduh Duterte bertanggung jawab atas dugaan kejahatan kemanusiaan terkait perang melawan narkoba di Filipina ketika dia menjadi presiden. Operasi itu telah mengeksekusi ribuan orang tanpa melalui proses hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepolisian Filipina di bawah pemerintahan Ferdinand Marcos Jr atau dikenal Bongbong kemudian menangkap Duterte di Manila pada Selasa (11/3).
Lalu pada Selasa malam, Duterte dibawa ke Belanda untuk diserahkan ke ICC.
Bagaimana ICC memutuskan Duterte untuk diadili atas perang melawan narkoba di Filipina?
ICC menyatakan Duterte sebagai "pelaku tak langsung" kejahatan kemanusiaan karena memegang kendali atas lembaga penegak hukum dalam perang melawan narkoba saat menjadi presiden dan Wali Kota Davao.
Menurut data pemerintah, korban tewas selama operasi anti narkoba lebih dari 6.000 jiwa. Namun, menurut lembaga pemantau hak asasi manusia jumlah korban tewas lebih dari 20.000 orang dan puncaknya pada 2016-2017.
ICC punya dasar yang membuat mereka yakin anggota Davao Death Squad (DDS) membunuh 19 orang-orang yang diduga pengedar atau pencuri narkoba di sekitar Kota Davao.
Setidaknya 24 orang lain yang diduga sebagai pengedar, pengguna, dan pencuri narkoba "juga dibunuh di bawah pengawasan anggota penegak hukum Filipina."
Kadang, pembunuhan itu dilakukan dengan bantuan orang yang bukan bagian dari kepolisian di seluruh negeri.
Dengan temuan itu, praperadilan ICC mengacu pasal 7 Statuta Roma menyebut perang melawan narkoba sebagai "serangan meluas atau sistemik yang ditujukan terhadap penduduk sipil."
Majelis ICC menekankan penerbitan surat perintah penangkapan "diperlukan" untuk memastikan kehadiran Duterte di hadapan pengadilan internasional dan keamanan para saksi dan korban pembunuhan dalam perang narkoba.
"Bapak Duterte meski tak lagi menjadi presiden Filipina, tampaknya masih memegang kekuasaan yang cukup besar," demikian penggalan dalam surat perintah penangkapan untuk Duterte per tanggal 7 Maret, dikutip Inquirer.
Perintah penangkapan itu merupakan respons terhadap "permohonan mendesak" surat perintah penangkapan yang diajukan Kantor Kejaksaan ICC (OTP) pada 10 Februari.
Mereka menyatakan Duterte diduga bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan mencakup pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan.
Namun, majelis pra peradilan ICC membatalkan tuduhan penyiksaan dan pemerkosaan dari surat perintah penangkapan karena tak punya dasar yang kuat.
Baca di halaman berikutnya >>>
Yurisdiksi ICC
ICC tetap merilis surat perintah penangkapan untuk Duterte meski Filipina cabut dari pengadilan internasional ini.
Penarikan diri Filipina dari Statuta tersebut mulai berlaku pada 17 Maret 2019.
ICC meyakini perang melawan narkoba Duterte terjadi saat Filipina masih menjadi bagian mereka dan terjadi di negara itu.
"Mahkamah tetap memiliki yurisdiksi sehubungan dengan dugaan kejahatan yang terjadi [di] Filipina ketika Filipina masih menjadi Negara Pihak, mulai dari 1 November 2011 hingga dan termasuk 16 Maret 2019," demikian menurut ICC.
Dengan sempat meratifikasi Statuta tersebut, Filipina secara tegas menerima yurisdiksi pengadilan sesuai perjanjian.
Kamar Pra-Peradilan mengatakan ada "alasan yang wajar untuk mempercayai" bahwa unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan terjadi di Filipina di bawah pengawasan Duterte dan saat negara itu masih menjadi pihak dalam Statuta Roma.
Sebagai presiden dan pemimpin DDS yang terkenal kejam selama masa jabatan sebagai wali kota Davao, Pra-peradilan ICC memandang Duterte "bertindak dengan niat dan pengetahuan" ketika ia menggunakan petugas polisi, yang dicap pelaku langsung, sebagai "alat untuk melakukan kejahatan."
Tindakan kekerasan yang timbul dari arahan Duterte, lanjut ICC, dilakukan DDS dan berbagai badan serta otoritas pemerintah berdasarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengakhiri kriminalitas di Filipina dengan segala cara.
"Termasuk pembunuhan terhadap terduga penjahat," demikian menurut mereka.
Dalam perannya sebagai kepala DDS, Duterte punya "kendali de facto" atas lembaga tersebut. Ini diperparah dengan pengaruh dan kekuasaan dia atas kepolisian kota dan unit-unitnya.
"Anggota DDS secara otomatis mematuhi arahan mereka, bahkan yang hanya tersirat. [Ditambah] fakta bahwa DDS membunuh beberapa pelaku fisik yang tidak mengikuti perintah mereka," demikian bunyi surat perintah tersebut.
Setelah terpilih menjadi Presiden pada 2016, majelis tersebut mencatat Duterte membawa "para pelaku" dari Kota Davao yang terlibat dalam pembunuhan terkait narkoba ke posisi-posisi tinggi di tingkat nasional, seperti Kepolisian Nasional Filipina dan Badan Pemberantasan Narkoba Filipina.
ICC juga menggarisbawahi mereka yang terlibat dalam pembunuhan tak punya kebebasan untuk menolak perintah Duterte.
Pelaku kejahatan tingkat rendah, lanjut mereka, berada di bawah belas kasihan atasan soal perlindungan atau bahkan sebaliknya menjadi kambing hitam. Lebih buruk lagi, mereka bisa mati.
"Dapat disimpulkan dari fakta bahwa mereka dibunuh atau dituntut sebagai kambing hitam untuk memastikan bahwa pelaku tingkat tinggi menikmati kekebalan," lanjut praperadilan ICC.
Duterte juga menggunakan istilah "netralisir" yang ditafsirkan ICC sebagai perintah untuk membunuh.
Duterte bersama pejabat tinggi pemerintah, anggota polisi, dan melalui orang lain sepakat 'menetralisir', individu yang diidentifikasi sebagai kriminal atau kecenderungan kriminal.