ICC tetap merilis surat perintah penangkapan untuk Duterte meski Filipina cabut dari pengadilan internasional ini.
Penarikan diri Filipina dari Statuta tersebut mulai berlaku pada 17 Maret 2019.
ICC meyakini perang melawan narkoba Duterte terjadi saat Filipina masih menjadi bagian mereka dan terjadi di negara itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mahkamah tetap memiliki yurisdiksi sehubungan dengan dugaan kejahatan yang terjadi [di] Filipina ketika Filipina masih menjadi Negara Pihak, mulai dari 1 November 2011 hingga dan termasuk 16 Maret 2019," demikian menurut ICC.
Dengan sempat meratifikasi Statuta tersebut, Filipina secara tegas menerima yurisdiksi pengadilan sesuai perjanjian.
Kamar Pra-Peradilan mengatakan ada "alasan yang wajar untuk mempercayai" bahwa unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan terjadi di Filipina di bawah pengawasan Duterte dan saat negara itu masih menjadi pihak dalam Statuta Roma.
Sebagai presiden dan pemimpin DDS yang terkenal kejam selama masa jabatan sebagai wali kota Davao, Pra-peradilan ICC memandang Duterte "bertindak dengan niat dan pengetahuan" ketika ia menggunakan petugas polisi, yang dicap pelaku langsung, sebagai "alat untuk melakukan kejahatan."
Tindakan kekerasan yang timbul dari arahan Duterte, lanjut ICC, dilakukan DDS dan berbagai badan serta otoritas pemerintah berdasarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengakhiri kriminalitas di Filipina dengan segala cara.
"Termasuk pembunuhan terhadap terduga penjahat," demikian menurut mereka.
Dalam perannya sebagai kepala DDS, Duterte punya "kendali de facto" atas lembaga tersebut. Ini diperparah dengan pengaruh dan kekuasaan dia atas kepolisian kota dan unit-unitnya.
"Anggota DDS secara otomatis mematuhi arahan mereka, bahkan yang hanya tersirat. [Ditambah] fakta bahwa DDS membunuh beberapa pelaku fisik yang tidak mengikuti perintah mereka," demikian bunyi surat perintah tersebut.
Setelah terpilih menjadi Presiden pada 2016, majelis tersebut mencatat Duterte membawa "para pelaku" dari Kota Davao yang terlibat dalam pembunuhan terkait narkoba ke posisi-posisi tinggi di tingkat nasional, seperti Kepolisian Nasional Filipina dan Badan Pemberantasan Narkoba Filipina.
ICC juga menggarisbawahi mereka yang terlibat dalam pembunuhan tak punya kebebasan untuk menolak perintah Duterte.
Pelaku kejahatan tingkat rendah, lanjut mereka, berada di bawah belas kasihan atasan soal perlindungan atau bahkan sebaliknya menjadi kambing hitam. Lebih buruk lagi, mereka bisa mati.
"Dapat disimpulkan dari fakta bahwa mereka dibunuh atau dituntut sebagai kambing hitam untuk memastikan bahwa pelaku tingkat tinggi menikmati kekebalan," lanjut praperadilan ICC.
Duterte juga menggunakan istilah "netralisir" yang ditafsirkan ICC sebagai perintah untuk membunuh.
Duterte bersama pejabat tinggi pemerintah, anggota polisi, dan melalui orang lain sepakat 'menetralisir', individu yang diidentifikasi sebagai kriminal atau kecenderungan kriminal.
(isa/rds/bac)