Pada awal November, tim relawan medis menemukan Al-Awady dan yakin dapat membantu mengeluarkan peluru di kepalanya. Seorang dokter Mesir, Mohamed Tawfik, saat itu menelepon ayahnya yang merupakan dokter mata untuk meminta bantuan.
Ayah Dokter Tawfik, Ahmed Tawfik, mengatakan kepada CBS News bahwa dia ingin pergi ke Gaza untuk membantu namun tak bisa karena perbatasan Rafah ditutup. Perbatasan Rafah menghubungkan antara Mesir dan Palestina.
"Saya mengikuti kasus ini hampir setiap hari. Saya merasa ini adalah kasus saya," kata Tawfik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu terus berjalan dan agresi Israel terus membara. Pada akhirnya Tawfik tak pernah bisa ke Gaza, dan putranya pun kembali ke Mesir.
Melihat kepergian Dokter Tawfik, Al-Awady mulai menyerah. Selama berbulan-bulan dia hidup dalam ketakutan bahwa dia akan kehilangan penglihatan di mata kanannya secara permanen.
"Saya mengajukan untuk dirawat di luar negeri, seperti yang dilakukan banyak orang lain. Ketika orang bertanya kepada saya, 'Sudah berapa lama Anda menunggu?' Saya jawab satu bulan, dan mereka akan merespons 'Lupakan saja, kami sudah menunggu lebih lama," ucapnya.
Secercah harapan akhirnya datang sekitar tiga bulan kemudian. Hamas dan Israel sepakat untuk gencatan senjata yang mulai berlaku efektif pada 19 Januari 2024.
Pada 8 Februari, ketika Al-Awady telah kembali ke rumahnya di utara Gaza, dia menerima telepon dari Organisasi Kesehatan Dunia bahwa ia akan berangkat keesokan harinya ke Mesir.
Ia pun berangkat dan tiba di Mesir keesokan harinya. Dokter Tawfik membawanya ke rumah sakit tempatnya bekerja di Al-Sharqia Governorate.
Tiga tim yang terdiri dari dokter mata, dokter bedah saraf, dan radiologi mendiskusikan bagaimana cara mengeluarkan peluru tanpa mengenai saraf optik.
"Kami menjalankan beberapa simulasi untuk menemukan rute terbaik demi menghindari saraf optik," kata Dr. Mohamed Khaled Shawky, dari Pusat Radiologi Al Nour, kepada CBS News.
"Peluru itu mendarat di tempat terbaik untuk pasien, tetapi tempat terburuk untuk tim medis," kata Shawky.
Shawky berujar jika saja peluru itu bergerak satu milimeter ke arah mana pun, itu akan mengakibatkan kerusakan besar.
Para dokter pun sepakat untuk mencoba mencapai peluru dengan masuk melalui rongga mata Al-Awady, demi menghindari kerusakan otaknya.
Dokter Tawfik berterus terang kepada Al-Awady bahwa ada 50 persen kemungkinan operasi berhasil, risiko pendarahan internal, hingga risiko Al-Awady kehilangan penglihatannya sepenuhnya.
"Saya menangis. Saya sangat takut, tetapi saya berdoa dan menerima risikonya," katanya.
"Tim medis yang luar biasa mencoba yang terbaik untuk meningkatkan semangat saya, untuk membuat saya siap secara psikologis, dan mereka melakukannya. Saya memasuki ruang operasi sambil tertawa dan penuh kegembiraan," kata Al-Awady.
Operasi akhirya dilakukan minggu lalu, dan berlangsung sukses. Tawfik mengaku amat terkejut dengan jumlah infeksi dan abses yang disebabkan oleh peluru, yang telah berkarat dari waktu ke waktu di dalam kepala Al-Awady.
"Dia sangat stabil sekarang, dan dia minum obatnya dan menjadi lebih baik," kata Tawfik kepada CBS News.
"Tujuan saya adalah pertama untuk mengakhiri rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi dan, kedua, untuk mempertahankan tingkat penglihatannya saat ini. Saya berharap setelah kami menangani ablasi retina, penglihatannya akan membaik," lanjutnya.
(blq/bac)