Penolakan semakin menggema ketika Thaksin akhirnya menjual perusahaan yang terdaftar di bursa saham itu seharga nyaris $2 miliar (sekitar Rp33 triliun) kepada perusahaan investasi Singapura Temasek. Banyak yang menuding Thaksin melakukan perdagangan jalur orang dalam.
Di samping kekhawatiran ekonomi, sejumlah pihak juga khawatir dengan potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) buntut konflik di provinsi selatan Thailand yang sebagian besar beragama Muslim. Selain itu, ada dugaan ia juga melakukan pelanggaran HAM buntut operasi narkoba di Thailand.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat menjabat PM, perusahaan telekomunikasi Thaksin pun dituding mendapat untung besar dari kontrak dan konsesi (pemberian izin atau hak) pemerintah.
Tuduhan korupsi dan penghinaan monarki ini berujung pada demonstrasi besar yang diinisiasi Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (People Alliance for Democracy/PAD).
Aksi protes ini lah yang membuka jalan bagi militer untuk melancarkan kudeta pada September 2006, saat Thaksin berada di luar negeri.
Pada Oktober 2008, Mahkamah Agung Thailand memutuskan Thaksin bersalah karena melanggar UU konflik kepentingan ketika menjabat PM. Selain itu, kekayaannya pun dibekukan oleh pemerintah.
Hal ini membuatnya memutuskan untuk mengasingkan diri di Dubai dan London sejak saat itu. Dia memilih mengasingkan diri untuk menghindari hukuman penjara, yang menurutnya bermotivasi politik.
(blq/bac)