Pada 2015, Fransiskus merilis ensiklik atau surat kepausan Laudato Si "Puji Bagi Mu." Surat ini bersifat formal dan diserukan untuk gereja-gereja Katolik di seluruh dunia.
Laudato itu menyatakan kerusakan lingkungan merupakan masalah moral yang dipicu keserakahan dan kapitalisme yang tak terkendali. Kondisi ini menyebabkan manusia melupakan hubungan yang mengikat dan mengabaikan Bumi.
Dengan mempromosikan konsep "ekologi integral," Fransiskus menghubungkan tindakan dosa terhadap alam dengan eksploitasi ekonomi terhadap kelompok miskin dan pelanggaran hak asasi manusia. Dokumen tersebut juga penting karena sebagai bentuk dukungan terhadap hak-hak masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dimensi utama Kepausan Fransiskus adalah kaum miskin dan orang-orang tertindas. Sejak awal dia mempromosikan pelayanan bagi semua kelompok.
"Saya melihat dengan jelas bahwa hal yang paling dibutuhkan gereja saat ini adalah kemampuan untuk menyembuhkan luka dan menghangatkan hati umat beriman; dibutuhkan kedekatan," kata Fransiscus saat wawancara yang dirilis majalah Jesuit America Magazine pada 2013.
Dia lalu berujar, "Saya melihat gereja sebagai rumah sakit lapangan setelah pertempuran."
Paus memimpikan gereja yang menjadi ibu dan gembala. Menurut dia, pendeta harus berbelas kasih, bertanggung jawab atas umat, dan mendampingi serta membersihkan mereka.
"Inilah Injil yang murni. Allah lebih besar daripada dosa. Reformasi struktural dan organisasional adalah hal sekunder. Ini baru terjadi setelahnya. Reformasi pertama harus dalam bentuk sikap," ungkap Paus.
Para Pendeta Injil, lanjut dia, harus orang-orang yang bisa menghangatkan hati umat, berjalan dan berdialog bersama tanpa tersesat.
"Bukan pendeta yang bertindak seperti birokrat atau pejabat pemerintah," ucap Paus.
Perubahan penting Fransiskus terlihat saat dia membuka dialog soal gereja dan isu-isu sosial melalui Sinode tentang Sinodalitas.
Melalui Sinode, Fransiskus mengundang para pendeta, uskup, kaum awam, dan perempuan untuk terlibat dalam diskusi soal isu besar yang dihadapi gereja seperti pasangan gay dan selibat para pendeta.
Beberapa orang menyebut sinode tersebut sebagai "latihan konsultasi terbesar dalam sejarah manusia." Paus bersedia mendengar pendapat dari orang lain meski berbeda cara pandangnya dengan dia.
Ia juga beranggapan perbedaan pendapat tak membuat gereja tampak lemah.
Beberapa sejarawan Vatikan menggambarkan Sinode ini sebagai "transformasional dan inovasi yang sangat penting."
Sinode tersebut mengubah hierarki tradisional di gereja. Gebrakan itu juga memaksa para uskup untuk mendengar dan terlibat dalam perdebatan terbuka.
(isa/bac)