Jakarta, CNN Indonesia --
Israel pernah memiliki perdana menteri yang bersedia mengulurkan tangan untuk berdamai dengan Palestina.
Namun sayang, sebelum perdamaian itu terwujud sang PM tewas ditembak oleh warga Yahudi radikal atau garis keras pada November 1995.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia adalah Yitzhak Rabin, satu-satunya perdana menteri Israel yang bersedia mengulurkan tangan bersalaman dengan pemimpin pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat.
Rabin memerintah Israel dua periode, 1974-1977 dan 1992-1995. Sebagai militer karier dan pernah terlibat berbagai pertempuran termasuk pertempuran enam hari (1967), dia punya sikap keras terhadap warga Palestina termasuk PLO. Menurut Britanica, dia punya reputasi agresif terhadap keamanan negaranya dan wilayah pendudukan.
Pada 1988 ketika menjadi petinggi militer, dia yang bertanggungjawab menghentikan aksi intifada, serangan anak-anak muda Palestina terhadap tentara Israel.
Intifada dikenal sebagai serangan menggunakan batu dan sangat merepotkan tentara Israel. Seperti biasa, Israel melawannya dengan senjata mematikan hingga memakan korban nyawa.
Namun selama bertahun-tahun, aksi ini tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Hingga Rabin menjadi PM pada 1992, sikapnya mulai melunak. Baginya, pemberontakan anak muda Palestina tidak bisa dilawan dengan senjata.
Dia pun memberi tahu sesama anggota Partai Buruh, partainya saat terpilih jadi PM.
"Saya telah belajar sesuatu dalam dua setengah bulan terakhir. Di antaranya, bahwa Anda tidak dapat memerintah dengan paksa atas satu setengah juta warga Palestina," kata Rabin.
Perjanjian damai dan insiden terbunuhnya Yitzhak Rabin, baca di halaman berikutnya...
Setahun kemudian, datang tawaran perdamaian antara Israel dan Palestina yang diinisiasi Amerika Serikat di bawah Bill Clinton. Perjanjian yang ditandatangani di Gedung Putih pada 13 September 1993 itu secara garis besar menyepakati masing-masing pihak untuk mengakhiri konflik. Kesepakatan ini disebut Perjanjian Oslo I.
Mengutip Al Jazeera, kesepakatan kedua, yang dikenal sebagai Oslo II, ditandatangani pada September 1995 dan membahas lebih rinci tentang struktur badan-badan yang seharusnya dibentuk oleh proses perdamaian.
Artinya, ada kesepahaman untuk penentuan nasib sendiri bangsa Palestina, dalam bentuk negara Palestina di samping Israel. Ini berarti bahwa Israel, yang dibentuk di tanah Palestina yang bersejarah pada tahun 1948 dalam sebuah peristiwa yang dikenal oleh warga Palestina sebagai Nakba, akan menerima klaim Palestina atas kedaulatan nasional.
Foto kedua pemimpin itu berjabat tangan disaksikan Bill Clinton mewarnai hampir seluruh halaman utama media di dunia. Salah satu sesi yang oleh banyak wartawan dilaporkan awalnya tampak canggung tapi kemudian mereka bisa saling mendekat dan tersenyum.
Namun nahas, dua bulan setelah perjanjian Oslo II saat warga Israel dan Rabin merayakan perjanjian itu, seorang mahasiswa Yahudi radikal, Yigal Amir, melesakan peluru hingga menembus punggung dan merobek limpa Rabin hingga tewas. Rabin meninggal malam itu juga, 4 November 1995, di Kings of Israel Square di Tel Aviv (sekarang menjadi Rabin Square).
Yigal Amir membunuh Yitzhak Rabin karena menolak perjanjian yang akan memberikan Palestina kemerdekaan itu. Setelah terbunuhnya Rabin, perjanjian itu pun kandas.
Israel kembali main brutal. Sayap perdamaian yang sedang dikepakkan itu, dipatahkan di tengah jalan oleh orang Israel sendiri.